Ini Dampak Jika Alokasi Anggaran Minimal 10 Persen Dihapuskan dari RUU Kesehatan
Dyah Satyani Saminarsih mengatakan jika minimum mandatory spending itu dihapus di tingkat pusat akan turut berdampak pada daerah.
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan terbaru, angka minimal alokasi anggaran 10 persen dihapuskan.
Padahal dalam pembahasan sebelumnya alokasi anggaran minimal 10 persen sempat dimasukkan ke DIM pada Pasal 420 ayat 2 dan 3.
Pemerintah beralasan alokasi itu dihapus agar tidak membatasi kebutuhan besaran alokasi anggaran.
Founder dan CEO Cisdi, Dyah Satyani Saminarsih mengatakan jika minimum mandatory spending itu dihapus di tingkat pusat akan turut berdampak pada daerah.
Sebab ada 58 kabupaten/kota belum memiliki APBD kesehatan yang memadai, bahkan kurang dari 10 persen.
"Promotif dan edukatif kan tidak hanya dilakukan di pusat. Harus ada di daerah juga," kata di diskusi online bertajuk Kepentingan Publik yang Belum Ada di RUU Kesehatan, Kamis (8/6/2023).
Baca juga: PKB Kritik Penghapusan Minimal Mandatory Spending dalam RUU Omnibus Law Kesehatan
"Kalau bilang berkomitmen tapi anggarannya tidak diberikan, bahkan dihapuskan mandatory spendingnya, akhirnya kita tidak akan kemana-mana. Padahal masih banyak sekali PR yang seharusnya dipakai berdasarkan alokasi mandatory spending tadi," lanjutnya.
Kalau mandatory spending dihapus di tingkat pusat, maka akan berdampak tidak adanya dana atau uang yang mengalir ke daerah untuk memastikan agar daerah juga turut memprioritaskan kesehatan kepada masyarakat.
"Dengan adanya mandatory spending saja, daerah tidak memprioritaskan kesehatan. Masih banyak daerah yang perlu dibantu untuk bisa memprioritaskan kesehatan," ujarnya.
Baca juga: Masyarakat Bebas Menuntut Jadi Khawatiran Petugas Kesehatan dari RUU Kesehatan Omnibus Law
Dyah mengatakan Cisdi sering menerima feedback dari daerah soal adanya keterbatasan anggaran.
Sebab jika ada prioritas dari pusat yang harus dikerjakan di daerah, daerah juga kerap menunggu anggaran dari pusat.
Jika tidak ada anggaran tersebut dari pusat, maka program itu tidak menjadi prioritas di daerah tersebut.
"Jika kita belum siap dengan programnya lalu memaksakan ada program tersebut, dan untuk memaksa punya program yang bagus dengan anggaran yang terbatas, ya enggak akan bisa berjalan programnya," ujarnya.
Menurutnya ada dua komitmen yang nampak dalam hal ini, yakni komitmen politis dan komitmen anggaran.
Jika Indonesia ingin membangun sistem kesehatan yang lebih baik setelah pandemi Covid-19, menghapuskan mandatory spending akan berdampak pada terbengkalainya program kesehatan di daerah.
"Agak tidak realistis kalau daerah bisa mampu untuk membiayai semua dari anggaran kesehatan yang dibutuhkan," ujarnya.