Jelang Sidang Putusan, Pengamat Yakin MK Bakal Tolak Permohonan Soal Sistem Pemilu, Ini Alasannya
Pengamat Perludem, Titi Anggraini, yakin Mahkamah Konstitusi (MK) bakal menolak permohonan soal sistem proporsional pemilu.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat pemilu sekaligus Anggota Dewan Pembinaan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, yakin Mahkamah Konstitusi (MK) bakal menolak permohonan soal sistem proporsional pemilu.
"Menurut saya, MK akan menolak permohonan nomor 114 ini dan menempatkan pilihan sistem pemilu sebagai legal policy atau kebijakan hukum yang menjadi kewenangan pembentuk UU," kata Titi dalam saluran YouTube pribadinya, Rabu (14/6/2023).
Alasan kenapa MK bakal memutus sistem pemilu sebagai legal policy atau kebijakan publik adalah karena dalam Pasal 168 ayat 2 Undang-Undang (UU) Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang diajukan ke MK, seperti kata Titi, tidak memuat isu soal konstitusionalitas.
MK, lanjut Titi, menguji UU terhadap Undang-Undang Dasar (UUD). Sehingga dalam tahapannya, tentu harus ada norma UUD yang dilanggar oleh UU.
Namun sepanjang penelusuran Titi, tidak ada norma UUD yang dilanggar oleh Pasal 168 Ayat 2 itu.
Hal ini dikarenakan, dalam UUD sendiri tidak diatur sistem pemilu untuk pemilu DPR dan DPRD sebagaimana yang diuji oleh pemohon ke MK.
"Ternyata kalau saya telusuri tidak ada norma UUD yang disimpangi atau dilanggar oleh pasal 168 ayat 2. Karena memang UUD kita tidak mengatur pilihan sistem pemilu untuk DPR dan DPRD," jelasnya.
"Dengan demikian tidak ada isu konstitusionalitasnya terkait norma yang mengatur sistem pemilu, karena UUD sendiri tidak mengatur pilihan sistem pemilu secara spesifik," Titi menambahkan.
Lebih lanjut, Titi menjelaskan, dalam konstitusi memang tidak diatur sistem pemilu untuk DPR dan DPRD. Sistem tersebut hanya diatur untuk pemilihan presiden dan wakil presiden.
"Presiden dan wakil presiden itu diatur di pasal 6 a Ayat 3, Ayat 4, yaitu sistem pemilunya majority run of two round system. Sistem pemilu dua putaran. Kalau tidak dapat 50 persen plus 1, maka ada putaran kedua. Jadi kalau mau dapat kursi harus 50 persen plus 1. Itu sistem pemilu presiden wakil presiden. Jelas konstitusi mengatur," Titi menegaskan.
"Tapi kalau untuk pemilu DPR dan DPRD itu tidak ada di dalam bab 7 b Pasal 22 e yang mengatur tentang pemilu. Hanya disebutkan di Pasal 22 e ayat 3 UUD Negara RI tahun 1945 bahwa peserta pemilihan umum anggota DPR dan DPRD adalah parpol," sambungnya.
Ini artinya, lanjut Titi, jika mengacu sistem varian pemilu: sistem pemilu yang pesertanya adalah partai politik bukan hanya proporsional saja, tapi bisa juga sistem pluralitas mayoritas dengan varian party block vote.
"Party block vote ini peserta pemilunya parpol. Dalam sistem pemilu campuran juga bisa peserta pemilunya parpol. Jadi variasi itu bisa banyak," tandasnya.
Sebagai informasi, putusan soal sistem proporsional pemilu bakal berlangsung pada Kamis (15/6/2023) mendatang.