TII: LPSDK Dihapus, Tanda Kemunduran Transparansi Dana Kampanye Dalam Pemilu
penghapusan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) sebagai kemunduran bagi transparansi dana kampanye dalam pemilu.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Manajer Riset dan Program The Indonesian Institue, Center for Public Policy Research (TII) Arfianto Purbolaksono menilai penghapusan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) sebagai kemunduran bagi transparansi dana kampanye dalam pemilu.
Menurut Arfianto, aturan tentang pelaporan dana kampanye harus dilaksanakan secara konsisten dengan upaya bersama dari penyelenggara dan peserta Pemilu.
"Serta masyarakat sipil untuk menegakkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana kampanye, termasuk dalam pelaporan sumbangan dana kampanye," kata Arfianto dalam keterangannya, Senin (26/6/2023).
Arfianto menilai upaya-upaya yang relevan sampai saat ini untuk dilakukan adalah dengan mendorong Komisi Pemilu Umum (KPU) untuk tetap mempertahankan LPSDK bagi peserta Pemilu.
Hal ini juga supaya KPU bersikap konsisten dalam menjalankan aturan dana kampanye yang tertuang pada UU Pemilu.
"Selain itu, penting bagi KPU untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas para peserta Pemilu yang notabene berkompetisi untuk menjadi pejabat publik," ujarnya.
"LPSDK juga dapat menjadi bagian dari informasi bagi pemilih nantinya," tambah Arfianto.
Kemudian, menurutnya KPU juga harus tegas dalam memberikan sanksi jika ada peserta yang tidak menyampaikan laporan dana kampanye, termasuk LPSDK.
Selain itu KPU juga harus didorong untuk memperkuat sosialisasi kepada partai politik untuk menginformasikan kepada publik tentang laporan sumbangan dana kampanyenya di Sidakam.
Terakhir kolaborasi antara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dengan organisasi masyarakat sipil untuk melakukan pengawasan terkait pelaporan dana kampanye parpol Pemilu 2024 juga penting.
"Misalnya, dengan memberikan informasi berkala kepada masyarakat untuk mengumumkan peserta Pemilu yang belum menyampaikan laporan keuangannya secara transparan dan akuntabel," tuturnya.
"Hal ini juga dapat menjadi disinsentif elektoral bagi para peserta Pemilu yang tidak menaati peraturan terkait tentang transparansi anggaran yang telah digariskan, termasuk dalam kaitannya dengan pelaporan sumbangan dana kampanye," tandas Arfianto.
Sebagai informasi, KPU tidak memuat ketentuan mewajibkan pelaporan LPSDK dalam Rancangan PKPU tentang Dana Kampanye. Beleid itu disetujui oleh Komisi II DPR. Dengan demikian, semua peserta Pemilu 2024 tidak perlu melaporkan dana sumbangan kampanye yang mereka dapat kepada KPU.
Padahal, kewajiban LPSDK sudah diterapkan sejak Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. KPU RI beralasan, penghapusan dilakukan karena LPSDK tidak diatur dalam UU 7/2017 tentang Pemilu. Ketentuan itu juga dihapus dengan alasan masa kampanye Pemilu 2024 pendek, yakni 75 hari saja.
Baca juga: Perjuangkan LPSDK Tidak Dihapus oleh KPU, Koalisi Masyarakat Ingatkan Kembali Tugas Bawaslu
KPU juga berdalih bahwa penghapusan LPSDK dilakukan karena informasi mengenai penerimaan sumbangan dana kampanye akan termuat dalam laporan awal dana kampanye (LADK) dan laporan penerimaan pengeluaran dana kampanye (LPPDK).