ICJR Sebut Masih Ada Penegak Hukum yang Belum Memahami Tiga Unsur Penting Dalam Kasus TPPO
ICJR Maidina Rahmawati menyampaikan hasil temuan pihaknya terkait dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Adi Suhendi
Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menyampaikan hasil temuan pihaknya terkait dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Maidina turut menyampaikan hasil temuan dari sisi aparat penegak hukum (APH) dengan melibatkan 18 orang termasuk di antaranya 5 orang anggota Polri, 7 orang Kejaksaan Negeri, dan 6 orang hakim Pengadilan Negeri.
"Ini dilakukan di Medan, Kisaran, Batam, penyidikan di Bareskrim tingkat Nasional, Pontianak, Mataram dan Kupang, daerah ini mewakili banyak demografi putusan-putusan yang paling banyak sampai ke tingkat MA terkait tindak pidana perdagangan orang," kata Maidina saat menyampaikan hasil temuan 'Evaluasi Kerangka Hukum Pemberantasan TPPO dan Bentuk Eksploitasi Lain', Selasa (4/7/2023).
Dari hasil itu, Maidina mengatakan, ICJR masih menemukan adanya aparat penegak hukum yang belum sepenuhnya memahami tentang tiga komponen inti dari TPPO.
Adapun tiga komponen inti yang dimaksud yakni proses, cara dan tujuan.
Baca juga: Mahfud MD: Sudah Ada 5 Oknum Pejabat Jadi Tersangka TPPO
"Ternyata masih ada aparat penegakan hukum yang belum cukup familiar terhadap tiga unsur penting, atau unsur inti dalam tindak pidana perdagangan orang," kata dia.
Temuan lanjutannya kata dia, masih ada APH yang hanya memahami bahwa unsur proses itu hanya berupa tindakan rekrutmen seseorang untuk dieksploitasi.
Padahal kata dia, ada banyak proses, termasuk penampungan, pemindahan, bahkan sesederhana penerimaan.
"Tapi penegak hukum itu hanya mengamini itu bahwa itu hanya proses rekrutmen, lalu harus ada pemindahan orang padahal tidak harus," kata dia.
Lalu kemudian, aparat penegak hukum kata Maidina, masih menemukan kesulitan untuk menjelaskan perbedaan TPPO dengan terjadinya bentuk eksploitasi lain.
Hal itu seperti kerja paksa, eksploitasi kerja migran, eksploitasi seksual dan penyelundupan manusia.
Baca juga: BP2MI Duga Oknum TNI-Polri, Kementerian, Lembaga, Hingga Pemda Jadi Backing TPPO
Kemudian, APH dalam temuan ICJR mayoritas menyatakan belum pernah ada penerapan penanganan perkara TPPO dengan bentuk kerja paksa di wilayah Indonesia.
Dengan adanya anggapan ini, Maidina meyakini kalau seolah-olah TPPO bentuknya hanya untuk pekerja migran atau hanya untuk kerja di luar negeri.
"Padahal di lingkup domestik kalau dia ada unsur paksa kalau ada unsur prosesnya dan eksploitasinya maka sebenarnya dia bisa didefinisikan sebagai tindak pidana perdagangan orang," kata dia.
"Ternyata APH belum pernah menangani TPPO dalam lingkup yang terjadi di wilayah Indonesia untuk kerja paksa ataupun eksploitasi kerja," tuturnya.
Di akhir, APH kata Maidina, menilai masih sulit untuk menjerat pelaku tindak kejahatan yang terorganisir dan transnasional.
Kata dia, profil pelaku yang mayoritas disebutkan adalah daftar pencarian orang (DPO), yang putus atau tidak bisa di track peranannya.
Atas hal itu kondisi tersebut yang menjadi pengajuan APH menjadi sulit untuk melalukan penegakan.
"Misalnya di dalam jawaban disebutkan dia bergantung sama korban, korban tidak kenal dengan pelaku jadi tidak ada penegakan hukum lanjutan, kami juga temukan gitu," ucap Maidina.
Tak cukup disitu, APH juga menyatakan kalau banyak DPO yang disebutkan sebagai pelaku utama. Namun, jaksa tidak punya kewenangan atau follow up untuk menindaklanjuti DPO tersebut bisa dijerat.
Alhasil kata dia, ada pelaku utama dari TPPO ini tidak dijerat karena tidak ada kewenangan yang lebih tinggi dalam hal ini jaksa ataupun hakim yang bisa melaksanakan bahwa si DPO itu juga dijerat secara pidana.
"Ini menjadi catatan mendasar kebijakan TPPO dan juga ini secara umum di kejahatan terorganisir di Indonesia," tukas dia.