Indonesia dan Negara Dunia Diharap Waspadai Jeratan Utang Beijing yang Dibalut Perjanjian Kerja Sama
Pengurus Besar Persatuan Pelajar Islam (PB PII) mengingatkan negara-negara dunia khususnya Indonesia agar tak terjebak jeratan utang China.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Wahyu Gilang Putranto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hubungan bilateral China dengan pemerintahan Yordania dikabarkan kian memanas, setelah kesepakatan antar negara terkait pembangkit listrik Attar Yordania, tak berjalan sesuai harapan.
Kesepakatan seputar proyek tersebut, menempatkan Yordania pada utang miliaran dolar ke China, namun timbul kesepakatan lain yang dicapai sejak proyek tersebut disusun.
Pemerintah Yordania sendiri tengah mencoba untuk menantang kesepakatan lainnya tersebut dalam pertarungan hukum internasional.
Menanggapi hal ini, Pengurus Besar Persatuan Pelajar Islam (PB PII) mengingatkan negara-negara dunia khususnya Indonesia agar tak terjebak jeratan utang China yang dibalut dengan perjanjian kerja sama.
Ketua PB PII Bidang Komunikasi Umat, Furqan Raka mengatakan ada maksud terselubung dari penawaran kerja sama yang ditawarkan ke negara berkembang di dunia.
"Yang pasti, 'ada udang di balik batu'. Lihat saja negara Uganda utang 200 juta dolar AS, Zimbabwe 4 juta dolar AS atau Srilanka 270 juta dolar AS kepada China," kata Furqan Raka kepada wartawan, Jumat (21/7/2023).
Baca juga: Total Utang Indonesia Mencapai Rp5.970 Triliun, Bank Indonesia Sebut Masih Sehat
Furqan menyampaikan selain terjajah dan bisa kehilangan aset negara berupa bandara atau pelabuhan seperti yang dialami Uganda dan Srilanka, proyek China juga kerap alami masalah seperti yang terjadi di Yordania.
Pada tahun 2012, Attarat Power Company, sebuah perusahaan swasta luar negeri terbesar China yang terlahir dari inisiatif Belt and Road Beijing, mengusulkan pinjaman untuk infrastruktur pembangkit tenaga listrik agar Yordania dapat memenuhi 15 persen dari kebutuhan listrik negara.
Namun seiring perjalanan waktu negeri gurun pasir itu menyadari beberapa kekhawatiran.
"Dari informasi yang kami lihat di media massa, selain tantangan teknis dan biaya ekstraksi minyak yang mahal, kontrak pemerintah Yordania dengan Attarat akan menelan biaya 8,4 miliar dolar selama 30 tahun ke depan dan hutang tersebut alan dengan cepat membengkak karena bunga," kata Furqan.
Selain itu, di bawah kesepakatan pembelian listrik selama 30 tahun, perusahaan listrik yang dikelola negara Yordania harus membeli listrik dari Attarat yang sekarang secara efektif dipimpin China dengan tarif selangit.
Baca juga: AS Lewati Ancaman Gagal Bayar Utang Negara
Pembelian tersebut menyebabkan pemerintah Yordania akan kehilangan 280 juta dolar AS per tahun dan untuk menutupi pembayaran, Yordania harus menaikkan harga listrik untuk konsumen sebesar 17 persen.
"Hal ini tentunya menjadi pukulan telak bagi ekonomi Yordania yang sudah dibebani dengan utang dan inflasi," ujar Furqan.
PB PII menilai wajar jika banyak pihak menuding Inisiatif Belt and Road China sebagai jebakan utang. Sebab ketika negara berkembang berjuang untuk mendapatkan pinjaman proyek infrastruktur, Beijing menawarkan pinjaman dana segar.
Namun saat negara tersebut tak mampu membayar utangnya, China mengambil alih infrastruktur vital mereka, seperti tanah atau pelabuhan seperti yang Beijing lakukan di Sri Lanka, Pakistan, Nepal, Ethiopia, dan Kongo.
PB PII pun mengatakan negara-negara dunia khususnya Indonesia seharusnya mendengarkan pernyataan Mantan Direktur Intelijen Armada Pasifik AS, Jim Fanell, terkait ambisi global China.
"Salah satu kritik besar terhadap China dalam meminjamkan utang lewat Inisiatif Belt and Road, adalah bahwa semuanya rahasia dan ujung-ujungnya alan menyandera negara yang berhutang kepada mereka," ungkapnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.