KPK Dinilai Layak Proses Dugaan Korupsi Kabasarnas Melalui Peradilan Umum
Penetapan keduanya sebagai tersangka oleh KPK, dianggap sudah tepat alasannya, penyelidikan perkara ini sudah dilakukan KPK sejak lama
Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM JAKARTA - Penetapan Kepala Badan SAR Nasional (Kabasarnas), Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi sebagai tersangka dugaan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai polemik.
Satu di antaranya, status Henri sebagai perwira TNI ditetapkan tersangka, pada awalnya bukan oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.
KPK pun telah menyatakan permohonan maaf atas penetapan Marsdya Henri Aliandi dan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka.
Namun penetapan keduanya sebagai tersangka oleh KPK, dianggap sudah tepat alasannya, penyelidikan perkara ini sudah dilakukan KPK sejak lama.
"Berdasarkan informasi yang didapatkan, proses penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi di Basarnas ini juga sudah dilakukan lebih dari satu tahun lalu. Bahkan sejak April 2022 dan sudah berkali-kali memanggil berbagai macam pihak untuk dikumpulkan bukti-buktinya," ujar Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani dalam acara Diskusi Publik bertajuk Kasus Korupsi di Basarnas dan Urgensi Reformasi Peradilan Militer, Minggu (30/7/2023).
Baca juga: Eks Penyidik Sayangkan Asep Guntur Mundur, Sebut KPK Butuh Sosoknya untuk Ungkap Kasus Suap Basarnas
Dengan menyerahkan perkara ini kepada Puspom TNI di tengah jalan, maka akan meruntuhkan konstruksi perkara yang telah dibangun sejak lama.
Hal itu karena penyelidikan yang dilakukan dianggap cacat prosedur alias tidak sah.
Akibatnya, para tersangka mesti dibebaskan.
"Kalau kita mengikuti logika tersebut, bebaskan semua orang itu. Karena menganggap basis penyelidikannya salah prosedur. Tidak sah," ujar Julius.
Dari proses hukum yang sudah dilakukan KPK, Julius menilai semestinya penanganan perkara ini tidak dilimpahkan ke Puspom TNI.
Sebab, dalam perkara ini juga terdapat tiga warga sipil yang menjadi tersangka, yakni: Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati (MGCS), Mulsunadi Gunawan; Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati (IGK), Marilya; dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama (KAU), Roni Aidil. Di mana perkara tiga tersangka sipil itu tentunya masih ditangani KPK.
Dia berpandangan bahwa penanganan perkara dalam suatu peristiwa pidana yang sama, tidak boleh dipisah.
"Secara teori hukum acara pidana, penyelidikan itu dilakukan terhadap suatu peristiwa hukum pidana yang sama.
Artinya, dalam suatu peristiwa dugaan tindak pidana korupsi di Basarnas, dasar hukumnya, dokumen penyelidikannya, itu sama, baik yang sipil ataupun militer. Tidak boleh dipisah," katanya.
Oleh sebab itu, KPK diminta untuk mengusut dugaan korupsi dari proyek bernilai puluhan miliar ini secara menyeluruh.
KPK juga diminta untuk terus memproses melalui peradilan umum, bukan menyerahkannya ke peradilan militer.
"Jangan sampai Undang-Undang Peradilan Militer menjadi penghalang untuk membongkar skandal pencurian uang negara tersebut secara terbuka dan tuntas," ujar perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan saat mendeklarasikan desakan terkait penanganan perkara ini dalam acara Diskusi Publik bertajuk Kasus Korupsi di Basarnas dan Urgensi Reformasi Peradilan Militer, Minggu (30/7/2023).
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.