Moeldoko Tak Bisa PK 2 Kali, MA: Dimungkinkan Jika Ada Dua Putusan Saling Bertentangan
(MA) mengatakan, putusan tolak atas Peninjauan Kembali yang dilayangkan KSP Moeldoko terkait kepengurusan Partai Demokrat merupakan putusan terakhir
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) mengatakan, putusan tolak atas Peninjauan Kembali (PK) yang dilayangkan KSP Moeldoko terkait kepengurusan Partai Demokrat merupakan putusan terakhir.
Juru Bicara MA Suharto menegaskan, PK tidak bisa diajukan dua kali.
"Prinsipnya di UU MA diatur, di UU Kekuasaan (Kehakiman) diatur, PK itu tidak dimungkinkan 2 kali. Hanya satu kali," kata Suharto, dalam konferensi pers di Gedung MA, Jakarta Pusat, Kamis (10/8/2023).
Suharto menjelaskan, pengajuan PK untuk kali kedua hanya mungkin dilakukan apabila terdapat dua putusan yang saling bertentangan.
"Jadi, ruangnya sempit sekali. PK tidak ada upaya hukum atau 'PK di atas PK'," jelas Suharto.
Selain menolak PK, Soeharto juga mengatakan, para pemohon, yakni KSP Moeldoko dan Jhonni Allen Marbun, diharuskan membayar biaya perkara senilai Rp 2,5 juta.
"Menghukum Para Pemohon Peninjauan Kembali membayar biaya perkara pada Peninjauan Kembali sejumlah Rp 2.500.000," ucapnya.
Sebab, dijelaskannya, novum yang diajukan pihak Moeldoko tidak cukup, sehingga majelis hakim agung menolak permohonan tersebut.
"Bahwa novum yang diajukan pemohon PK tidak bersifat menentukan, sehingga tidak bisa menggugurkan pertimbangan hukum dari putusan kasasi," kata Suharto.
Sebagai informasi, Perkara nomor 128 PK/TUN/2023 ini diadili oleh Ketua Majelis Yosran, bersama Anggota Majelis 1 Lulik Tri Cahyaningrum, Anggota Majelis 2 Cerah Bangun serta Panitera Pengganti Adi Irawan.
Majelis hakim memutuskan untuk menolak PK yang diajukan kubu Moeldoko tersebut.
Selain itu, Moeldoko dan Johnny, selaku para pemohon dihukum membayar biaya perkara pada peninjauan kembali sejumlah Rp2,5 juta.
Baca juga: PK Moeldoko Ditolak, MA Hukum Para Pemohon Bayar Biaya Perkara Rp 2,5 Juta
Adapun kasus ini bermula saat kubu Moeldoko membuat Kongres Luar Biasa, di Deli Serdang, Sumatera Utara. Saat itu, Moeldoko dipilih sebagai Ketua Umum dalam KLB itu.
Tak hanya itu, kubu Moeldoko menggugat SK Menkumham yang menyatakan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.