Mengenang Peristiwa Tanjung Priok: Intel Disusupkan ke Kelompok Islam Hingga Perkara Gusuran
Mengenang Peristiwa Tanjung Priok 39 tahun lalu yang menyebabkan puluhan warga sipil meninggal dunia.
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto
TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Tepat hari ini, 12 September, 39 tahun lalu peristiwa Tanjung Priok pecah.
Peristiwa berdarah dengan korban puluhan jiwa di Jakarta Utara itu menyeret nama eks Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) Leonardus Benjamin Moerdani.
Dikutip dari buku Seri Buku Tempo Tokoh Militer bertajuk "Benny Moerdani yang Belum Terungkap" letupan di Tanjung Priok berawal dari dua aparat bintara pembina desa(Babinsa) yang dituduh memasuki musala Assa'adah di Gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara tanpa membuka alas kaki.
Dua Babinsa tersebut memasuki musala pada tanggal 8 September 1984.
Keduanya lalu mencopot pamflet undangan pengajian remaja di Jalan Sindang Raya.
Dua Babinsa tersebut juga menyiram dinding musala dengan air comberan.
Amuk massa pun terjadi. Sepeda motor milik dua anggota Babinsa lalu dibakar.
Baca juga: Tanggal 12 September 2023 Memperingati Hari Apa? Hari Purnawirawan dan Peristiwa Tanjung Priok
Empat warga termasuk Ketua Musala Assa'adah Ahmad Zahid dicokok petugas Komando Distrik Militer 0502 Jakarta Utara.
Permintaan Ketua Posko 66 Amir Biki agar keempatnya dibebaskan tidak bersambut.
Pada 12 September, Amir Biki bersama massa mengeruduk ke kantor Polres dan Kodim Jakarta Utara.
"Kalau mereka tidak dibebaskan kita harus memprotesnya," kata pria Jebolan Fakultas Kedokteran UI tersebut.
Bentrokan pun terjadi. Korban bergelimpangan di depan kantor polisi.
Amir bersama dua rekannya juga ditembak di markas halaman Kodim Jakarta Utara.
Keluarga korban mengklaim korban tewas dan terluka mencapai ratusan orang.
Beni Biki, adik Amir Biki menuding Benny Moerdani dalang di balik kekerasan berdarah itu.
"Sejak Benny menjabat Panglima ABRI pada 1983 tekanan terhadap kelompok Islam semakin keras," kata Beni Biki.
Memang peristiwa berdarah Tanjung Priok menyeret Benny Moerdani ke pusaran konflik kelompok politik Islam dengan pemerintahan Presiden Soeharto kala itu.
Ketika itu rezim Soeharto memang terkesan menekan kelompok yang mulai membesar terutama setelah kemenangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada Pemilu tahun 1982.
Ditambah lagi agama Katolik yang dianut Benny Moerdani semakin tidak menguntungkan pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah tersebut.
Eks Anggota Komisi Penyelidik dan Pemeriksa Pelanggaran HAM Tanjung Priok, Albert Hasibuan dalam buku Seri Buku Tempo Tokoh Militer bertajuk "Benny Moerdani yang Belum Terungkap"sebagai orang yang diduga bertanggung jawab dalam peristiwa berdarah tersebut tidak berbicara sedikitpun saat pemeriksaan pada Kamis siang 4 Mei 2000.
Pemeriksaan satu jam tersebut Benny hanya memberikan keterangan tertulis dan dibacakan ajudannya.
Dalam pernyataan tersebut Benny menyatakan tidak mengetahui terjadinya bentrokan massa dengan aparat Militer pada 12 September 1984.
Dia baru mengetahui dua jam kemudian setelah dikabari Pangdam Jaya saat itu Jenderal Purnawirawan Try Sutrisno.
Salah satu eks anak buah Benny Moerdani juga menyebut kasus Tanjung Priok merupakan tanggung jawab Panglima Kodam Jaya, Try Sutrisno.
Semestinya Try Sutrisno yang menangani perkara berdarah tersebut.
Namun kala itu Presiden Soeharto justru memerintahkan Benny Moerdani yang menangani agar situasi ibu kota tenang.
"Repot lah pak Benny karena dia seorang Kristiani," ujar eks anak buah Benny.
Menurut dia sebagian massa adalah binaan intelijen Kodam Jaya karenanya mereka berani turun ke jalan.
Letnan Jenderal Marinir Purnawirawan Nono Sampono yang juga eks ajudan Benny Moerdani membenarkan adanya agen-agen intelijen yang disusupkan ke kelompok islam.
Ia tak mengerti mengapa Benny harus bertanggung jawab atas peristiwa Tanjung Priok.
"Kasus Priok bukan by design melainkan accident. Gampang sekali disulut, orang lapar," kata Nono Sampono.
Di lain pihak Try Sutrisno memastikan tidak ada perintah penembakan saat peristiwa Tanjung Priok meletus.
"Rakyat spontan emosi akhirnya mau bakar Kodim, Polres sampai ada korban," ujar Try.
Ia juga menegaskan tidak ada pelanggaran HAM saat peristiwa terjadi karena tidak terpenuhi unsur adanya perintah atasan serta kejadian meluas dan sistematis.
Beni Biki menolak jika kakaknya Amir Biki dicap seorang intel.
Menurut dia, justru sang kakak sering didatangi intel saat menggelar diskusi di rumahnya Jalan Simpang Lima Semper, Koja, Jakarta Utara.
Pernah juga salah seorang rekan Amir datang menjual granat tangan kemudian dilaporkan ke Amir.
Tapi, menurut Beni orang itu lalu dibebaskan polisi dua hari setelah dilaporkan Amir.
Sementara itu Nono Sampono mengaku sempat mendengar kabar dari Kodam Jaya tentang adanya gerakan massa pada Rabu sore melalui radio monitor.
Saat tiba di kantor Polres Jakarta Utara, Benny Moerdani saat itu sempat menginterogasi belasan prajurit Artileri Pertahanan Udara (Arhanud).
"Coba kamu ceritakan apa yang terjadi. Bagaimana kamu bisa nembak orang?" Kata Benny saat itu.
Setelah mendapat penjelasan Benny menilai tindakan prajurit tersebut sesuai prosedur.
Para prajurit tesebut lanjut Nono juga menggunakan senjata semi otomatis buatan PT Pindad bukan M16 sehingga tidak ada tembakan berondongan seperti yang tersebar di masyarakar saat itu.
"Walau saya bilang tepat kamu jangan sombong karena yang kamu tembak itu saudara kamu sendiri," ujar Nono menirukan ucapan Benny saat interogasi.
Benny kemudian menuju ke terminal kontainer barang di Tanah Merah.
Sembari mengetuk-ngetuk kontainer dia berkata, "Inilah sebab musabab masalah itu"
Menurut Benny massa beringas karena pemerintah main gusur demi membangun dermaga pelabuhan kontainer.
Benny kemudian memerintahkan Nono untuk menghubungi Menteri Agama, Munawir Sjadzali agar mengumpulkan tokoh agama di Jakarta pada Kamis malam 13 September.
Hadir sejumlah ulama dari NU dan Muhammadiyah.
Dalam rapat tersebut muncul kekhawatiran bakal terjadi gejolak apabila jumlah korban tewas riil diumumkan.
"Ini jumlah korban sesungguhnya 28 Saya kembalikan kepada bapak-bapak apakah angka ini yang saya sebutkan," kata Benny.
Kemudian rapat sepakat jumlah korban tewas dikorting lima sesuai Pancasila.
Tapi saat rapat dengan DPR, Benny Moerdani menyampaikan angka sebenarnya.
Belakangan jumlah korban tewas ada 33 orang.
Buya Syafii Maarif eka Ketua Umum PP Muhammadiyah dalam edisi majalah Tempo akhir September 2014 mengaku tidak tahu menahu soal cerita rekayasa jumlah korban tersebut.
"Itu sudah lama sekali," ucapnya.
Anggota Komnas HAM, Muhammad Nur Khoiron mengakui adanya cerita itu.
"Ada di berkas," kata pria yang juga aktivis NU ini.
Kendati demikian ujungnya baik Benny Moerdani dan Try Sutrisno lolos dari jerat hukum.
Pengadilan HAM berat kasus Tanjung Priok justru memvonis 10 tahun penjara eks Komandan Kodim 0502 Mayor Jenderal Purnawirawan Rudolf Adolf Butar-butar pada 30 April 2004.
Tiga bulan kemudian komandan lapangan Sutrisno Mascung divonis tiga tahun penjara.
Pada saat kejadian meletus ia berpangkat kapten.
Untuk anak buahnya sebanyak 11 orang juga dihukum dua tahun penjara.
Namun mereka tidak langsung dipenjarakan karena hakim tidak memerintahkan eksekusi langsung.
Pada tahun 2005 mereka dibebaskan Pengadilan Tinggi. Lalu pada Mei 2006 Mahkamah Agung menolak pengajuan kasasi karena dianggap bukan perkara pelanggaran HAM berat.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.