Praktisi Hukum Nilai Bhinneka Tunggal Ika dan Piagam Madinah Tekankan Pentingnya Hargai Perbedaan
Praktisi Hukum Agus Widjajanto, bicara mengenai relasi antara Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan Piagam Madinah.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Praktisi Hukum Agus Widjajanto, bicara mengenai relasi antara Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan Piagam Madinah.
Agus menjelaskan, bahwa Piagam Madinah turut mengilhami para pendiri bangsa membentuk Negara Kesatuan yang dijabarkan dalam Pancasila sebagai Dasar Negara dan UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis.
"Para pendiri bangsa ini memasukan beberapa kata dalam Alquran pada sistem ketatanegaraan yang saat itu diusulkan oleh H Agus Salim. Misalnya kata Rakyat, Musyawarah, Majelis dan sebagainya," kata Agus dalam keterangan Selasa (19/9/2023).
Baca juga: Praktisi Hukum: Pancasila Bukan Hanya Dasar Negara Tapi Sumber dari Segala Sumber Hukum
Lulusan Magister Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) itu menyatakan, pemikiran dari para pendiri bangsa tersebut sangat visioner dan mampu menjangkau puluhan tahun ke depan.
Hal yang sepatutnya ditiru para politisi di negeri ini, bagaimana berpikir lebih maju dan menghilangkan kepentingan sesaat.
Terkait kepentingan sesaat ini, Agus Widjajanto berkaca pada pada munculnya politik identitas dalam pemilihan kepala daerah yang menimbulkan preseden paling buruk dalam sejarah bangsa ini.
"Sesuatu yang tidak hanya bertentangan dengan Bhineka Tunggal Ika, tetapi sekaligus melupakan sejarah penting Piagam Madinah," ujarnya.
Sementara itu, dijelaskan Agus, Pancasila sebagai Dasar Negara, Filosofi dan Pandangan Hidup Bangsa digali oleh Soekarno.
Presiden Pertama RI itu mencetuskan sila-sila Pancasila dalam sidang pembahasan falsafah negara dihadapan Badan persiapan usaha kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945.
Agus menjelaskan, selain digali dari sumber primer seperti Kitab Negara Kertagama dan Kitab Sutasoma, Soekarno menggalinya dari Serat Wredhatama dan Ajaran Wulang Reh. Utamanya juga adalah dari Alquranul Karim serta Piagam Madinah yang dideklarasikan Rasullullah SAW saat di Kota Madinah hingga tercipta urutan Pancasila.
"Saat pembahasan soal Dasar Negara, Mr Soepomo sedari awal keberatan dimasukannya hak asasi manusia dalam konteks negara kesatuan. Ia khawatir masukkan hak asasi manusia ini akan memperlemah negara kesatuan yang mana lebih berorientasi negara liberal," ucap Agus Widjajanto.
Keberatan Mr Soepomo, lanjutnya, menimbulkan perdebatan sengit. Mr Moh Yamin dan Soekarno serta H Agus Salim tidak sependapat atas pendapat Mr Soepomo.
Kemudian dicari jalan tengah yang ditekankan pada kata "keadilan sosial" dalam Pancasila dan Pasal 28 dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Baca juga: Praktisi Hukum Tegaskan Pancasila sebagai Dasar Falsafah Negara Tak Perlu Dipertanyakan Lagi
"Jika melihat kondisi saat ini, kekhawatiran Mr Soepomo tentu bisa dipahami. Karena sekarang lebih banyak orang hanya menuntut hak sebagaimana diatur Piagam PBB, Declaration of Human Right, tetapi tidak memikirkan kewajibannya sebagai warga negara," ujarnya.
Karena itu pula, Calon Mahasiswa Doktor Universitas Padjajaran Bandung itu membenarkan pidato Bung Karno, bahwa kalau jadi Hindu janganlah jadi orang India. Kalau jadi Islam janganlah jadi Orang Arab. Kalau jadi Kristen janganlah jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi Orang Nusantara dengan hidup berdasarkan adat-istiadat orang Nusantara.
"Intinya, jadilah manusia beragama apapun agamamu. Dan, jadilah orang Indonesia yang menghargai adat-istiadat dan budaya Indonesia. Karena ke depan keyakinan atas ke-Indonesia-an ini akan luntur jika kita tidak berpegang teguh bahwa kita orang Indonesia bukan bangsa barat atau bangsa jazirah timur," ucapnya.
Di sisi lain, Agus Widjajanto menyinggung penyebar Agama Islam di Tanah Jawa yaitu Sayyid Ja'far Sodiq yang mendirikan masjid di Desa Kerjasan Kota Kudus pada tahun 1503 Masehi. Masjid itu saat ini dikenal dengan nama Masjid Menara Kudus.
Masjid yang sangat legendaris karena bangunan menara mengambil dari bekas pure peribadatan dalam agama Hindu. Sayyid Ja'far Sodiq atau dikenal dengan sunan Kudus sendiri diketahui lahir di Kota Al Quds Palestina, 9 September 1400 Masehi/808 Hijriah.
Pada saat Sunan Kudus menyebarkan agama, masyarakat Kudus dan sekitarnya masih memeluk agama Hindu. Melalui pendekatan budaya dan adat-istiadat, beliau mendapat sambutan hangat di hati masyarakat. Saat itu, Sunan Kudus memfatwakan bagi masyarakat Kudus tidak boleh memotong menyembelih sapi.
Hal ini merupakan politik hukum yang diambil untuk menghormati umat beragama Hindu yang mengkeramatkan hewan sapi dalam kepercayaan mereka. Hingga saat ini, masyarakat di Kudus patuh dan hormat tetap memegang teguh tradisi dari fatwa Sunan Kudus tersebut meski jaman telah berubah.
Dibalik fatwa Sunan Kudus tersebut, menurut Agus ada pesan dan ajaran yang disampaikan bahwa kita harus menghormati antar umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pola pikir Sunan Kudus itu bisa menjangkau ratusan tahun ke depan. Bahwa bangsa ini dibentuk dari beberapa perbedaan dan menyatu dengan cita-cita bersama yang bernama Indonesia.
Baca juga: Praktisi Hukum Paparkan Krisis Multidimensi yang Dihadapi Bangsa Indonesia
"Bhineka Tunggal Ika dengan Piagam Madinah itu senafas. Keduanya sama-sama menekankan pentingnya menghargai perbedaan, bahwa yang mayoritas menghargai yang minoritas, yang minoritas memahami yang mayoritas. Bhineka Tunggal Ika sejalan dengan ajaran Islam mengenai persatuan yaitu Ukhuwah Islamiah, Ukhuwah Wathoniah dan Ukhuwah Bashariah," pungkas Agus.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.