Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Anak DN Aidit: Negara Berutang Maaf pada Keluarga Korban Pelanggaran HAM Berat

Ilham Aidit mengatakan permintaan maaf diibaratkan utang sejarah yang diwariskan negara, sama seperti utang uang.

Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Anak DN Aidit: Negara Berutang Maaf pada Keluarga Korban Pelanggaran HAM Berat
Tribunnews.com/ Ashri Fadilla
lham Aidit, anak Dipa Nusantara Aidit alias DN Aidit saat ditemui Tribunnews.com beberapa waktu lalu di sebuah sekolah swasta di Jakarta. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peristiwa Gerakan 30 September pada tahun 1965 membawa efek domino hingga penghilangan paksa jutaan warga negara Indonesia yang disebut-sebut terafiliasi atau bahkan bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Laporan akhir dan rekomendasi Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) telah mengategorikan peristiwa tersebut sebagai satu di antara 12 pelanggaran HAM berat.




Atas rekomendasi itu, pemerintah periode ini secara resmi telah mengakui adanya pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk peristiwa pasca-30 September 1965.

Namun, pengakuan itu dianggap keluarga korban belum lengkap, sebab tak diiringi permintaan maaf.

Baca juga: Alami Diskriminasi Anak DN Aidit Dua Kali Gagal Jadi PNS

"Yang pasti sekarang belum adanya pernyataan meminta maaf. Sebetulnya perkataan mengakui pada saat itu harus dilanjutkan dengan perkataan minta maaf," ujar Ilham Aidit, anak Dipa Nusantara Aidit alias DN Aidit saat ditemui Tribunnews.com beberapa waktu lalu di sebuah sekolah swasta di Jakarta.

Memang, para pejabat yang duduk di pemerintahan periode kini termasuk generasi yang menumbangkan orde baru, di mana pelanggaran HAM berat itu terjadi.

Baca juga: Ilham Aidit Sebut Persekusi dan Stigmatisasi Eks PKI Masih Terjadi Hingga Saat Ini

BERITA TERKAIT

Namun dengan lantang, putra DN Aidit itu berujar bahwa permintaan maaf diibaratkan utang sejarah yang diwariskan negara, sama seperti utang uang.

Artinya, permintaan maaf mesti dilakukan lembaganya, bukan hanya perorangan atau rezim yang kala itu memimpin.

"Harus diselesaikan. Enggak bisa bilang 'Saya kan juga menumbangkan Soeharto, maka saya tidak meminta maaf.' Tidak!" katanya.

Pernyataan itu seolah menjawab ucapan pemerintah yang diwakili Menko Polhukam, Mahfud MD dalam pertemuannya dengan para eksil di Belanda pada Minggu (27/8/2023) lalu.

Mulanya, seorang eksil bernama Sungkono mengajukan pertanyaan kepada sang menko mengenai permintaan maaf.

"Saya merasa pernyataan Pak Jokowi masih belum lengkap. Kalau sudah mengakui dosa sekian besarnya, kok tanpa minta maaf, hanya menyesali?" ujar Sungkono dalam acara Pertemuan dengan Korban Pelanggaran HAM Berat di Belanda, Minggu (27/8/2023).

Menanggapi itu, Mahfud berujar bahwa pemerintah periode kini bukanlah pelaku pelanggaran HAM berat, terutama pasca-30 Septembe 1965.

Bahkan dia dan kawan-kawannya termasuk yang menumbangkan pemerintahan yang saat itu berkuasa, yakni orde baru yang dipimpin Soeharto.

"Lalu kita disuruh meminta maaf kepada siapa, wong kita sudah turunkan mereka yang seharusnya minta maaf. Seharusnya mereka yang meminta maaf kepada kita, bukan malah kita juga disuruh meminta maaf. Itu terbalik dan itu dalam pikiran kami," ujarnya dalam acara yang sama.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas