Peningkatan Kelas Jalan Non Sebagai Solusi ODOL Terhambat Anggaran
Peningkatan kelas jalan non tol menjadi hal yang perlu dibicarakan dalam penyusunan Roadmap Zero Over Dimension dan overloaded (ODOL).
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Peningkatan kelas jalan non tol menjadi hal yang perlu dibicarakan dalam penyusunan Roadmap Zero Over Dimension dan Overloaded (ODOL).
Selain itu perbaikan kelas jalan ini juga menjadi penentu utama dari peningkatan daya saing logistik Indonesia, yang hingga saat ini masih jauh tertinggal dari negara tetangga.
Meski demikian, hal tersebut tampaknya sulit untuk direalisasi lantaran minimnya anggaran dari pemerintah pusat dan daerah.
"Ini harus sepakat karena menaikan kelas jalan itu menimbulkan dampak kebutuhan anggaran jalan, jadi anggaran jalan harus dinaikan juga," kata Direktur Jenderal Bina Marga dan Cipta Karya Kementerian PUPR, Hedy Rahadian di Jakarta belum lama ini.
Dia melanjutkan, akan menjadi masalah baru apabila kelas jalan ditingkatkan namun pemerintah tidak memiliki anggaran untuk merawatnya.
Artinya, jalan yang dibangun akan menjadi percuma bila biaya pemeliharaannya tidak dipikirkan.
Kendati demikian, dia memahami bahwa peningkatan kelas jalan dibutuhkan agar angkutan logistik dapat melintas dengan lancar agar dapat menekan ongkos logistik.
Namun apabila pemerintah tidak memiliki anggaran untuk memelihara jalan tersebut maka akan percuma.
"Kalau negara nggak mampu memelihara lalu rusak, biaya logistik juga jadi tambah mahal," katanya.
Sebabnya, dia meminta semua pihak berkepentingan duduk bersama guna membicarakan hal tersebut.
Dia mengatakan, intinya bagaimana mencapai titik temu antara kualitas jalan dan ongkos logistik.
"Kita bicarakan mau mempunyai jalan yang seperti apa dan bagaimana. Kita coba mendapatkan titik optimumnya, negaranya mampu dan biaya transportasinya juga tidak terlalu mahal," katanya.
Lebih lanjut, bukan perkara mudah untuk menaikan kelas jalan di Indonesia.
Kata dia, peningkatan kelas jalan didukung oleh beberapa regulasi mulai dari Undang-Undang Lalu Lintas sampai Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub).
"Itu dulu yang harus diubah. Tapi perubahan itu juga harus ada kajian, jangan sembarangan, kemudian nggak ada anggarannya," katanya.
Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Kalimantan Tengah (Gapki Kalteng) menyatakan bahwa persoalan ODOL biasanya selalu dimulai dari titik muat barang seperti di pelabuhan atau area industri atau pusat logistik lainnya.
Misal, muatan yang dibawa dari Surabaya, dengan menggunakan kapal roro maka di pelabuhan pintu masuk di Kalimantan Tengah harus dibongkar terlebih dahulu.
Muatan yang dibongkar kemudian dipindahkan ke truk lokal dengan sesuai ukuran dan kapasitas jalan yang ada. Hal tersebut kemudian menambah besar biaya angkut logistik nasional.
Gapki meminta pemerintah harus terlebih dulu meningkatkan standar jalan di luar Jawa. Peningkatan standar yang dimaksud meliputi pelebaran dan kenaikan kelas jalan.
Baca juga: Apindo Desak Ada Kajian Lintas Kementerian Bahas Kebijakan Zero ODOL
Alasannya, selama ini, standar ruas jalan antara di Jawa dan luar Jawa seperti Sumatera dan Kalimantan memiliki perbedaan cukup signifikan. Kondisi itu membuat biaya angkut semakin membengkak.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyarankan agar peningkatan kualitas jalan raya masuk dalam bahasan peta jalan Zero ODOL.
APINDO berpendapat bahwa peningkatan tersebut perlu dilakukan baik dari dan menuju kawasan industri, serta kawasan pelabuhan hingga bandara.
Standardisasi kelas jalan diperlukan agar pelaku usaha bisa mencari solusi tepat dalam penggunaan kategori truk yang digunakan.
Tujuannya, agar implementasi zero ODOL tidak kemudian malah menjadi masalah baru akibat tarif angkutan yang tinggi sehingga menurunkan daya saing produk.
Tingginya biaya logistik juga sempat disinggung Menteri BUMN, Erick Thohir.
Dia mengatakan, biaya logistik Indonesia sebelas persen lebih mahal dari dunia. Dia melanjutkan, porsi biaya logistik Indonesia 24 persen dari PDB.
Angka ini lebih tinggi dibanding rata-rata dunia sebesar 13 persen.
Hal ini mengakibatkan biaya logistik Indonesia kurang bersaing dengan negara lain. Erick menyebut mahalnya biaya logistik disebabkan oleh minimnya fasilitas infrastruktur dalam negeri.
Kondisi infrastruktur dalam negeri juga membuat peringkat Indeks Kinerja Logistik (IPL) Indonesia merosot berdasarkan penilaian Bank Dunia pada 2023.
IPL Indonesia berada pada peringkat ke-63 dari 139 negara atau terjun dari peringkat ke-46 dari 160 negara pada 2018.
Bank Dunia mengukur LPI dengan melakukan survei pada dunia usaha, baik pelaku maupun pengguna, dengan memberi nilai 1-5 pada bea cukai, sarana dan prasarana (infrastructure), pengiriman barang ke luar negeri, ketepatan jadwal, kemampuan mengelola logistic dan penelusuran dan pelacakan barang. Dari hasil survei ini, skor keseluruhan LPI Indonesia tahun 2023 adalah 3,0. Turun dari tahun 2018 yang sebesar 3,15.
Ketua Kompartemen Riset dan Teknologi DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Tonny Wijaya meminta pemerintah adil terkait peta jalan Zero ODOL. Dia meminta pemerintah tidak hanya melulu menyalahkan truk-truk obesitas sebagai penyebab kerusakan jalan.
Namun, pemerintah seharusnya juga bisa memperbaiki kualitas jalanan di Indonesia.
Peningkatan kelas jalan diperlukan mengingat teknologi truk yang ada saat ini telah berbeda dengan dulu. Dia menjelaskan, saat ini satu ban sudah memiliki kapasitas kekuatan hingga 3,5 ton.
Baca juga: Perbaikan Kualitas Jalan dalam Jangka Panjang untuk Penyelesaian ODOL
Kalaulah gandar depan itu 7 ton, harusnya muatan sumbu terberat (MST) sudah harus meningkat.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.