Sekjen Pemuda Muhammadiyah: Jangan Salah Kaprah Pahami Dinasti Politik
Sekjen PP Pemuda Muhammadiyah, Najih Prasetyo menyebut masih banyak masyarakat yang keliru dalam memahami praktik dinasti politik.
Editor: Wahyu Aji

Laporan Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Percakapan politik di Indonesia, utamanya di media sosial banyak membahas fenomena dinasti politik yang berkembang di tanah air.
Praktik dinasti politik tersebut banyak dikritik.
Namun berbeda dari persepsi publik kebanyakan, Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah (Sekjen PP Pemuda Muhammadiyah), Najih Prasetyo menyebut masih banyak masyarakat yang keliru dalam memahami praktik dinasti politik.
“Di tengah kebudayaan politik kita yang belum cukup matang, banyak masyarakat yang senang menyederhanakan makna dinasti politik. Bahkan beberapa gelintir orang menggunakan frasa dinasti politik sekadar untuk menyerang karakter pribadi seseorang. Pembunuhan karakter seperti itu justru semakin merendahkan kualitas demokrasi dan politik kita”, kata Najih dalam pernyataannya yang diterima Tribun, Minggu(8/10/2023).
Najih juga membeberkan sejumlah fakta global di beberapa negara maju yang tidak begitu riuh mempersoalkan dinasti politik.
Kata dia beberapa negara maju, praktik dinasti politik itu biasa saja. Kampiun demokrasi semacam Amerika juga terjadi fenomena dinasti politik.
Ini misalnya bisa dilihat dari praktik politik keluarga Bush, Clinton atau bahkan keluarga Kennedy.
Terbaru dan cukup fenomenal adalah kemunculan Justin Trudeau Perdana Menteri Kanada.
Trudeau berhasil menunjukkan dirinya perwakilan generasi muda dengan beragam macam gebrakannya dalam merumuskan regulasi yang kompatibel dengan situasi sekarang.
Untuk diketahui, Justin Trudeau adalah anak sulung Pierre Trudeau, mantan PM Kanada yang menjabat di era 70-an dan 80-an lalu, trah politik elit yang dimiliki oleh Justin tak membuatnya dikucilkan dan disisihkan dalam arena politik Kanada.
Berkaca dari fenomena global itu, menurut Najih, masyarakat Indonesia perlu melihat peluang munculnya generasi muda, ketimbang sibuk dengan keriuhan yang centang perenang.
“Menurut saya, ketimbang sibuk membangun sentimen personal terhadap tokoh politik yang sedang lahir saat ini, lebih baik kita menangkap peluang. Peluang untuk meruntuhkan praktik gerontokrasi (pemerintahan oleh kaum tua), lalu mendorong generasi muda untuk memimpin bangsa ini.
Dalam pemilu tahun 2024 mendatang, lebih dari 50 persen pemilih adalah generasi muda.
Kesempatan ini perlu dimaksimalkan untuk melakukan regenerasi kepartaian dan sistem politik.
"Generasi muda harus tampil mengisi demokrasi Indonesia dengan gagasan dan karya-karya monumentalnya. Tentu dengan tetap berkiblat pada regulasi dan konstitusi yang berlaku," tutur Najih.
Baca juga: Kritisi Oligarki dan Politik Dinasti, Milenial: Anak Muda Jangan Mau Hanya Dijadikan Alat
Terakhir, Najih berpesan kepada seluruh generasi muda untuk memanfaatkan momentum Pemilu mendatang untuk memaksimalkan peran pemuda dalam kancah politik nasional.
“Momentum politik mendatang harus kita sambut dengan memaksimalkan peran generasi muda dalam politik nasional. Kita mesti hindari sentimen personal dan pembunuhan karakter terhadap seseorang. Pada saat yang sama, sebagai angkatan muda Indonesia, kita harus tampil membuktikan kualitas generasi muda dengan menghadirkan praktik politik yang rasional, cerdas dan solutif bagi perbaikan bangsa," kata Najih.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.