Kontroversi Putusan MK, Saldi Isra & Arief Hidayat Beberkan Kejanggalan, Singgung 'Gerbong' Hakim
Saldi Isra menyampaikan perbedaan pandangan atau pendapat (dissenting opinion) atas putusan Mahkamah Konstitusi RI (MK) soal gugatan nomor 90/PUU-XXI/
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Konsitusi Saldi Isra dan Arief Hidayat membeberkan kejanggalan atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
Gugatan tersebut terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam sidang kemarin, Saldi Isra menyampaikan perbedaan pandangan atau pendapat (dissenting opinion) atas putusan Mahkamah Konstitusi RI (MK) soal gugatan nomor 90/PUU-XXI/2023.
Dimana dalam putusannya, MK menyatakan mengabulkan sebagian gugatan terkait dengan batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun atau berpengalaman menjabat sebagai kepala daerah.
Keheranan Saldi Isra
Terkait dengan putusan tersebut, Saldi Isra merasa heran. Kata dia, putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman itu merupakan suatu putusan yang aneh dan tidak masuk akal.
“Baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” kata Saldi dalam persidangan di ruang sidang MK RI, Senin (16/10).
Perbedaan pandangan atau pendapat yang disampaikan Saldi Isra itu bukan tanpa sebab.
Terkait putusan ini, Saldi merujuk pada tiga perkara sebelumnya yang berkaitan dengan gugatan usia capres-cawapres.
Dimana dalam tiga perkara tersebut, hakim konstitusi menyatakan menolak gugatan tersebut.
“Sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023), Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya,” kata dia.
Menurut dia, sadar atau tidak, ketiga Putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR RI dan Presiden.
Sehingga menurut dia, MK RI tidak lagi memiliki kewenangan atas gugatan tersebut. Dirinya juga menyoroti soal terjadinya perubahan tersebut yang terjadi dalam waktu singkat.
“Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari,” kata dia.
Lebih lanjut, Saldi juga menaruh perhatian kalau putusan ini berpengaruh pada fakta-fakta yang ada di masyarakat.
Sehingga, dirinya mempertanyakan perihal isi apa yang berkembang di masyarakat sehingga MK mengubah pendiriannya.
“Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?” ucap dia.
Saldi Isra juga melihat ada beberapa hakim yang tampak terburu-buru untuk membaca sidang putusan gugatan usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Padahal selama rapat permusyawaratan hakim (RPH) masih banyak masalah yang menyita waktu dan perdebatan yang belum selesai.
Dengan banyaknya masalah itu, di antara beberapa hakim mengusulkan agar pembahasan ditunda dan tidak buru-buru untuk diputuskan.
“Karena perdebatan yang belum begitu terang terkait masalah amar tersebut, ada di antara hakim konstitusi mengusulkan agar pembahasan ditunda dan tidak perlu terburu-buru,” ungkap Saldi.
“Serta perlu dimatangkan kembali hingga mahkamah, in case lima hakim yang berada dalam gerbong mengabulkan sebagian, benar-benar yakin dengan pilihan amar putusannya,” sambung dia.
Sekalipun RPH ditunda dan berlangsung lebih lama, bagi hakim yang mengusulkan ditunda, hal tersebut tidak akan menunda dan mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilihan presiden (pilpres).
Namun lanjut Saldi, di antara sebagian hakim yang tergabung dalam gerbong ‘mengabulkan sebagian’ seperti tengah berpacu dengan tahapan pilpres.
“Sehingga yang bersangkutan terus mendorong dan terkesan terlalu bernafsu untuk cepat-cepat memutus perkara a quo,” tuturnya.
Kejanggalan Versi Arief Hidayat
Hakim Konstitusi Arief Hidayat membeberkan kejanggalan atas putusan MK kemarin.
Pasalnya lewat putusan tersebut, MK membolehkan orang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Padahal pada hari yang sama, sebelumnya MK menolak tiga putusan batas usia capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
Menurut Arief, ia merasakan adanya kosmologi negatif dan keganjilan pada lima perkara a quo yang ditangani MK soal batas usia capres dan cawapres.
Keganjilan ini perlu dia sampaikan karena mengusik hati nuraninya.
"Hal ini mengusik hati nurani saya sebagai seorang hakim yang harus menunjukan sikap penuh integritas, independen, dan imparsial, serta bebas dari intervensi politik manapun dan hanya berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara yang berdasar pada ideologi Pancasila," kata Arief saat membacakan dissenting opinion di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).
Keganjilan pertama, papar hakim konstitusi yang diusulkan DPR ini, adalah soal penjadwalan sidang yang terkesan lama dan ditunda.
Bahkan, prosesnya memakan waktu hingga 2 bulan, yaitu pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang ditolak MK pagi tadi, dan 1 bulan pada Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang juga ditolak MK.
Ia mengakui, lamanya penjadwalan sidang memang tidak melanggar hukum acara, baik yang diatur dalam UU tentang MK maupun Peraturan MK. Namun, penundaan berpotensi menunda keadilan.
"Dan pada akhirnya akan meniadakan keadilan itu sendiri (justice delayed, justice denied). Terlebih hal in merupakan suatu ketidaklaziman yang saya rasakan selama lebih kurang 10 tahun menjadi hakim konstitusi dalam menangani perkara di MK," ucap Arief.
Oleh karenanya, ia mengusulkan agar Mahkamah menetapkan tenggang waktu yang wajar antara sidang perbaikan permohonan dengan pemeriksaan persidangan untuk mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah.
Dengan begitu, peristiwa seperti ini tidak akan terjadi lagi di kemudian hari.
"Perbaikan ini dilakukan dengan menyempurnakan hukum acara perkara pengujian undang-undang," tutur dia.
Keganjilan lainnya adalah turut sertanya Ketua MK Anwar Usman atas salah satu perkara yang berakhir dikabulkan MK.
Padahal dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada Selasa (19/9/2023), tiga perkara yang akhirnya ditolak MK, Perkara Nomor 29PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, Ketua MK Anwar Usman tidak hadir.
Saat itu, RPH dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Arief menanyakan alasan Anwar Usman tidak hadir.
Saldi Isra lantas menyatakan, ketidakhadiran Anwar Usman bertujuan untuk menghindari potensi konflik kepentingan karena isu yang diputus berkaitan dengan syarat usia minimal capres dan cawapres, di mana keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, berpotensi diusulkan dalam Pilpres 2024.
Diketahui, Anwar merupakan suami dari Idayati, adik kandung Presiden Joko Widodo, ayah Gibran.
Akhirnya, tiga perkara tersebut diputuskan untuk ditolak. Namun saat memutus dua perkara lain yang salah satunya berujung diputus inkonstitusional bersyarat, Ketua MK hadir.
"Ketua malahan ikut membahas dan memutus kedua perkara a quo dan khusus untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar "dikabulkan sebagian". Sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima dengan penalaran yang wajar," ucap Arief.
Sebagai informasi, MK mengabulkan sebagian gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Senin (16/10/2023).
Putusan itu disampaikan usai MK menolak tiga permohonan uji materi aturan yang sama yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, dan sejumlah kepala daerah.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.