Mengantisipasi Perang Hibrida dengan Mewaspadai Fenomena Post-Truth
Peperangan di masa depan akan sangat tergantung pada teknologi perang siber dan elektronika.
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peperangan di masa depan akan sangat tergantung pada teknologi perang siber dan elektronika.
Ancaman perang hibrid ini perlu diantisipasi mengingat serangan terhadap perangkat lunak, cyber warfare, dan aspek psikologis semakin nyata.
Ancaman tersebut terungkap dalam Seminar Akhir Perwira Siswa (Pasis) Pendidikan Reguler (Dikreg) Sekolah Staf dan Komando TNI Angkatan Laut (Seskoal) Angkatan ke-61 Tahun Ajaran 2023 di Auditorium Gedung Yos Soedarso, Mako Seskoal, Jakarta Selatan, Senin (23/10/2023).
Pengamat Militer dan Intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati mengatakan pendekatan peperangan Hibdrida berfokus pada mengendalikan dan memengaruhi populasi di dalam suatu negara dibandingkan dengan okupasi secara teritorial.
Untuk itu, tema seperti perang sipil, separatisme, pemberontakan, terorisme, dan kelompok gerilyawan menjadi sentral.
Baca juga: Dampak Perang Siber Semakin Mengkhawatirkan, Ini Kata Pengamat
Berbeda dengan peperangan konvensional atau tradisional yang berfokus untuk mengalahkan kekuatan militer suatu negara dan mengisolasi masyarakat sipil dari perang, kata Nuning, peperangan hibrida cenderung berfokus untuk memengaruhi populasi suatu negara yang bertujuan mendapatkan atau mengikis dukungan masyarakat terhadap suatu pemerintahan, serta meningkatkan atau membuat tidak relevan penggunaan kekuatan militer.
Sehingga, Perang Hibrida seringkali digambarkan sebagai population-centric conflict karena yang menjadi target adalah menciptakan konflik dalam populasi suatu negara yang berujung pada instabilitas kemanan nasional suatu negara.
”Fenomena post-truth politik di sosial media yang mengancam demokrasi hingga dapat bereskalasi mengganggu stabilitas kemanan nasional,” ujar Nuning, sapaan akrabnya.
Mantan anggota Komisi I DPR ini menjelaskan, post-truth merupakan sebuah kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal. Kondisi post truth mendapat tempat dalam momentum politik untuk memperkuat sebuah narasi propaganda.
”Dalam hal ini, seobjektif apa pun sebuah informasi, jika tidak memenuhi harapan emosional sebagian golongan publik maka akan disingkirkan (truth decay),” katanya.
Wanita yang juga merupakan Ketua DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Bidang Hankam dan Siber ini menyebut di Indonesia, post-truth politik berkelindan dengan politik identitas, khususnya sentimen agama dan etnis. Hal ini berpotensi bereskalasi sehingga mengancam stabilitas keamanan nasional.
Hadir dalam seminar yang mengangkat tema “Pemanfaatan Teknologi Informasi Guna Menghadapi Ancaman Hibrida Dalam Rangka Mewujudkan Kepentingan Nasional di Laut” antara lain, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali sebagai keynote speaker. Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto, Kepala BSSN Letjen TNI (Purn) Hinsa Siburian.
Asintel KSAL Mayjen TNI Mar Suaf Yanu Hardani, Kakordos Seskoal Laksamana Pertama TNI Judijanto, Akademisi Bidang Teknologi Informasi Onno W. Purbo. Selain itu, hadir pula pembicara dari TNI, Pasis Dikreg Seskoal Angkatan ke-61 yaitu Mayor Laut (T) Cahya Kusuma, Kompol Marthinus, dan Letkol Aaron Koh.