Profil 5 Dewas KPK yang Beri Sanksi Etik ke Firli Bahuri, Ada Eks Ketua KPK dan Eks Wakil Ketua MK
Berikut profil singkat ketua dan empat anggota Dewas KPK yang ikut serta dalam putusan sidang etik Ketua KPK Nonaktif Firli Bahuri.
Penulis: Faryyanida Putwiliani
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nonaktif, Firli Bahuri dinyatakan melanggar kode etik dan kode perilaku KPK oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Hal itu dikarenakan Firli berhubungan secara langsung dengan Eks Mentan Syahrul Yasin Limpo (SYL) yang tengah berperkara di KPK.
"Mengadili, satu, menyatakan terperiksa saudara Firli Bahuri telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran kode etik dan kode perilaku."
"Yaitu berhubungan langsung dan tidak langsung dengan Syahrul Yasin Limpo (SYL) yang perkaranya sedang ditangani KPK," kata Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean dalam sidang etik Dewas KPK, Rabu (27/12/2023).
Akibat perbuatannya Firli pun diberikan sanksi etik berat, yakni diminta untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua KPK.
Diketahui putusan sanksi etik Firli tersebut dibacakan dalam sidang etik Dewas KPK yang digelar di Gedung KPK, Jakarta Selatan pada hari ini Rabu (27/12/2023).
Baca juga: Hal yang Memberatkan Putusan Sanksi Etik Dewas KPK untuk Firli Bahuri: Tak Akui Perbuatan
Di antaranya dibacakan oleh Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean, serta anggota Dewas KPK yakni Syamsuddin Haris, Albertina Ho, Harjono, dan Indriyanto Seno Adji.
Lantas siapakah sosok Tumpak Hatorangan Panggabean, Syamsuddin Haris, Albertina Ho, Harjono, dan Indriyanto Seno Adji ini?
Berikut profil singkat ketua dan empat anggota Dewas KPK yang ikut serta dalam putusan sidang etik Firli Bahuri:
Baca juga: Dewas KPK Ungkap Firli Bahuri Komunikasi dengan SYL Usai Penetapan Tersangka, Tapi Pesannya Dihapus
1. Tumpak Hatorangan Panggabean
Melansir laman resmi KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean diketahui lahir di Sanggau, Kalimantan Barat pada 29 Juli 1943.
Tumpak merupakan lulusan sarjana hukum di Universitas Tanjungpura, Pontianak pada 1973.
Ia kemudian mengabdikan diri kepada negara dengan berkarir di Kejaksaan Agung dan kemudian diangkat menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Pangkalan Bun pada periode 1991-1993.
Berbagai jabatan di Kejaksaan RI telah dilaluinya, antara lain:
- Kajari Pangkalan Bun (1991–1993),
- Asintel Kejati Sulteng (1993-1994),
- Kajari Dili (1994–1995),
- Kasubdit Pengamanan Ideologi dan Politik Pada JAM Intelijen (1996–1997),
Baca juga: Dewas KPK Menyatakan Firli Bahuri Terbukti Melakukan Pelanggaran Etik
- Asintel Kejati DKI Jakarta (1997-1998),
- Wakajati Maluku (1998–1999),
- Kajati Maluku (1999-2000), Kajati Sulawesi Selatan (2000–2001),
- SESJAMPIDSUS (2001–2003).
Pada tahun 2003, Tumpak diusulkan oleh Jaksa Agung RI untuk bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai salah satu Pimpinan KPK periode pertama (2003-2007).
Tahun 2008, diangkat sebagai Anggota Dewan Komisaris PT Pos Indonesia (Pesero) berdasarkan Keputusan Meneg BUMN.
Pada Juni 2015 hingga Desember 2019, Tumpak menjabat Komisaris Utama PT Pelindo 2 (Pesero) sebelumnya akhirnya dipilih oleh presiden untuk menduduki posisi pejabat sementara (Plt) Pimpinan KPK pada tahun 2009-2010.
Atas pengabdiannya, Ia pernah mendapatkan penghargaan Satya Lencana Karya Satya XX Tahun 1997, Satya Lencana Karya Satya XXX 2003 dan Bintang Mahaputera Utama tahun 2009.
Baca juga: Jelang Pembacaan Putusan, ICW Desak Dewas KPK Jatuhkan Sanksi Berat Bagi Firli Bahuri
2. Albertina Ho
Albertina Ho lahir di Maluku Tenggara pada 1 Januari 1960.
Ia menjadi sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada 1985 dan meraih gelar Magister Hukum di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto pada 2004.
Usai lulus dari UGM, Albertina menjadi calon hakim di Pengadilan Negeri Yogyakarta dari tahun 1986 sampai ditempatkan ke Pengadilan Negeri Slawi, Jawa Tengah pada 1991 hingga 1996.
Setelah itu karirnya berlanjut ke Pengadilan Negeri Temanggung pada 2002-2002 dan melengkapi karirnya di Provinsi Jawa Tengah, Albertina bertugas menjadi hakim di Pengadilan Negeri Cilacap pada tahun 2002-2005.
Tahun 2005, Albertina diangkat sebagai Asisten Koordinator di Mahkamah Agung Bidang Yudisial hingga 2008.
Baca juga: Firli Bahuri Disanksi Etik Berat oleh Dewas KPK, Diminta Undur Diri sebagai Ketua KPK
Selepas itu, Ia kembali menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hingga tahun 2011 dan menjadi Wakil Ketua Pengadilan Negeri Sungailiat Bangka Belitung hingga tahun 2012, berlanjut menjadi Ketua Pengadilan Negeri Sungailiat hingga 2014.
Pengalaman Albertina di meja hijau semakin panjang ketika dia menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Palembang pada tahun 2014-2015 dan kemudian pindah ke Pengadilan Negeri Bekasi pada tahun 2015-2016.
Melengkapi karirnya, Albertina diangkat menjadi Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan pada Juni 2016 hingga 2019, sebelum akhirnya pindah menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang pada 27 September 2019 hingga 20 Desember 2019.
Albertina diangkat menjadi Dewan Pengawas KPK oleh Preside Jokowi pada 20 Desember 2019.
Atas pengabdiannya, Albertina Ho telah mendapatkan penghargaan Satya Lencana Karya Satya X, Satya Lencara Karya Satya XX dan Satya Lencana Karya Satya XXX 2018.
Baca juga: Dewas KPK: Firli Bahuri Tak Hadir di Persidangan Tanpa Alasan yang Sah
3. Harjono
Pria kelahiran 31 Maret 1948 ini merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR), Surabaya pada 1977.
Di tahun 1981, Harjono meraih beasiswa pada program Master of Comparative Law (MCL) pada Universitas Southern Metodist, Dallas, Texas, Amerika Serikat.
Harjono terpilih menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai utusan Jawa Timur pada tahun 1999.
Kariernya berlanjut hingga ia dilantik menjadi hakim konstitusi selama dua periode yakni pada 2003-2008 dan 2009-2014.
Di akhir periode pertamanya sebagai hakim konstitusi, Harjono sempat menjabat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.
Pada 12 Juni 2017 dilantik menjadi anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP).
Penerima Bintang Mahaputera Utama tahun 2006 ini juga tercatat pernah menjadi dosen pasca sarjana untuk program Strata-2 dan Strata-3 Ilmu Hukum dibeberapa Universitas seperti Universitas Airlangga, Universitas Islam Indonesia, Universitas Sam Ratulangi, Universitas Tujuh Belas Agustus, Universitas Islam Malang, Universitas Islam Sultan Agung, dan Universitas Udayana.
Baca juga: Selain Hadir ke Bareskrim, Firli Bahuri Juga akan Datang Dengarkan Putusan Etik Dewas KPK
4. Syamsuddin Haris
Syamsuddin Haris merupakan seorang Profesor Riset Bidang Perkembangan Politik Indonesia dan Doktor Ilmu Politik.
Ia lahir di Bima, Nusa Tenggara Barat pada 9 Oktober 1957.
Prof. Haris merupakan lulusani Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Nasional di 1984.
Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Magister FISIP Universitas Indonesia hingga lulus di tahun 2002, serta meraih gelar Doktor di Universitas yang sama pada tahun 2008.
Sejak 1985, Prof. Haris telah mendedikasikan diri menjadi peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) selama 34 tahun.
Selain menjadi peneliti, Ia juga seorang dosen Pasca Sarjana Ilmu Politik di FISIP Universitas Nasional dan dosen Ilmu Komunikasi di FISIP Universitas Indonesia.
Baca juga: Dewas KPK Menyatakan Firli Bahuri Terbukti Melakukan Pelanggaran Etik
Tahun 2008-2015, Prof. Haris juga pernah menjadi Sekretaris Jenderal Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI).
Pada tahun 1995-1998, Ia juga pernah menjadi koordinator penelitian Pemilu di Indonesia dan menjadi ketua Tim Penyusun Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Bidang Politik versi LIPI pada tahun 2007.
Sejak 2017, Prof. Haris ditunjuk sebagai Ketua Forum Nasional Professor Riset (FNPR) serta dipilih menjadi Ketua Dewan Pakar Himpunan Peneliti Indonesia (Himpenindo) sejak tahun 2018.
Hingga saat ini, Prof. Haris telah menerbitkan 22 buku hasil karyanya, dan menjadi kontributor untuk 62 buku.
Salah satu buku karyanya, Demokrasi di Indonesia: Gagasan dan Pengalaman (LP3ES, 1995) telah memperoleh penghargaan sebagai buku terbaik di bidang ilmu sosial dari Yayasan Buku Utama.
Selain itu, ia juga pernah mendapatkan pengharagaan Satyalancana Pembangunan dari Pemerintah Republik Indonesia di tahun 2018 dan penghargaan Satyalancana Karya Satya 30 Tahun di tahun 2015.
Baca juga: Jelang Pembacaan Putusan, ICW Desak Dewas KPK Jatuhkan Sanksi Berat Bagi Firli Bahuri
5. Indriyanto Seno Adji
Indriyanto Seno Adji diketahui lahir di Jakarta pada 11 Noovember 1957.
Sebelumnya Indriyanto menyelesaikan pendidikan sarjana hukumnya di Universitas Indonesia pada 1982.
Kemudian pada 1996, Indriyanto berhasil menyelesaikan pendidikan S2 sebagai Magister Hukum bidang Kekhususan Sistem Peradilan Pidana Program Pascasarjana Universitas Indonesia Program Studi Ilmu Hukum .
Tak cukup sampai disitu, Indriyanto kemudian menempun Program Doktor Ilmu Hukum di Bidang Kekhususan Pidana Program Pascasarjana Universitas Indonesia Program Studi Ilmu Hukum.
Baca juga: Alasan Dewas KPK Putuskan Firli Langgar Etik Berat, Kini Diminta Mundur sebagai Ketua KPK
Pada tahun 2015, Indriyanto terpilih menjadi Plt. Wakil Ketua KPK menggantikan Wakil Ketua KPK sebelumnya, Busyro Muqaddas yang habis masa jabatannya pada 16 Desember 2014.
Dan pada 28 April 2021, Indriyanto dilantik sebagai anggota Dewan Pengawas KPK, menggantikan mendiang Artidjo Alkostar yang berpulang pada 28 Februari 2021.
Sebelumnya, guru besar ilmu hukum ini juga menjadi konsultan ahli di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Anggota tim persiapan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Serta menjadi pengajar pada beberapa perguruan tinggi, antara lain Program Pascasarjana Universitas Indonesia bidang Ilmu Hukum, Program Magister Hukum Universitas Krisnadwipayana, Program Pascasarjana Universitas Pelita Harapan, dan Program Sarjana Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.
Baca juga: Firli Bahuri Disanksi Etik Berat oleh Dewas KPK, Diminta Undur Diri sebagai Ketua KPK
Putusan Sanksi Etik Dewas KPK untuk Firli Bahuri
Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menyatakan Ketua KPK Nonaktif, Firli Bahuri melakukan pelanggaran kode etik dalam penanganan kasus Eks Mentan Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Putusan Dewas KPK tersebut diungkapkan oleh Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean dalam sidang etik di Gedung KPK, Jakarta Selatan pada hari ini Rabu (27/12/2023).
Atas perbuatannya Firli pun diberikan sanksi etik berat, yakni diminta untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua KPK.
"Mengadili, satu, menyatakan terperiksa saudara Firli Bahuri telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran kode etik dan kode perilaku."
Baca juga: Firli Bahuri Terbukti Langgar Kode Etik, Dewas KPK: Seharusnya Ketua KPK jadi Contoh
"Yaitu berhubungan langsung dan tidak langsung dengan Syahrul Yasin Limpo (SYL) yang perkaranya sedang ditangani KPK."
"Menjatuhkan sanksi berat, berupaya diminta mengajukan pengunduran diri sebagai pimpinan KPK," kata Tumpak dalam sidang etik yang digelar Dewas KPK, Rabu (27/12/2023).
Dalam sidang etik tersebut, Dewas KPK pun mengungkapkan hal-hal yang memberatkan sanksi etik Firli Bahuri.
Di antaranya karena Firli Bahuri tidak mau mengakui perbuatannya yang menemui Eks Mentan SYL yang tengah berperkara di KPK.
Baca juga: Dewas KPK Menyatakan Firli Bahuri Terbukti Melakukan Pelanggaran Etik
Kemudian Firli Bahuri tidak hadir dalam persidangan kode etik tanpa alasan yang sah.
Padahal sebelumnya Dewas KPK telah memanggil Firli Bahuri untuk mengikuti sidang kode etik.
Perbuatan Firli Bahuri tersebut pun dinilai memperlambat jalannya persidangan etik.
Hal yang memberatkan lainnya yakni Firli Bahuri sebelumnya sudah pernah dijatuhkan sanksi etik.
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani).
Baca berita lainnya terkait Firli Bahuri Terjerat Kasus Korupsi.