Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

MK: Uji Formil terhadap Putusan MK Berpotensi Timbulkan Ketidakpastian Hukum

Menurut Mahkamah Konstitusi, uji formil terhadap norma hasil putusan MK bisa menimbulkan ketidakpastian.

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Febri Prasetyo
zoom-in MK: Uji Formil terhadap Putusan MK Berpotensi Timbulkan Ketidakpastian Hukum
Tribunnews
Gedung Mahkamah Konstitusi. 

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menilai uji formil atau pengujian proses pembuatan aturan yang dilakukan terhadap norma hasil putusan MK berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.

Hal tersebut dijelaskan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 145/PUU-XXI/2023 tentang uji formil Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat batas minimal usia capres/cawapres.

Untuk diketahui, Perkara 145/PUU-XXI/2023 dimohonkan dua pakar hukum tata negara, Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar.

Perkara ini merupakan kali pertama MK diminta menguji proses pembuatan aturan atas putusan yang telah mereka tetapkan sendiri.

"Menurut Mahkamah, pola pengujian formil terhadap suatu norma yang merupakan hasil dari sebuah putusan Mahkamah Konstitusi selain tidak lazim juga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum baru sehingga kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 yang seharusnya Mahkamah jaga sebagai the guardian of constitution malah justru terabaikan," kata Mahkamah, dikutip dari salinan Putusan MK 145/PUU-XXI/2023, Rabu (17/1/2024).

Dalam permohonannya, Denny dan Zainal mendorong MK untuk memutus perkara ini dengan menggunakan pendekatan hukum progresif atau judicial activism.

BERITA TERKAIT

Hal ini terkait hal baru di mana Mahkamah Konstitusi diminta menguji formil aturan yang ditetapkannya, yang dalam hal ini adalah syarat batas minimal usia capres/cawapres sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan 90/2023 yang dinilai kontroversial.

"Dalam keadaan demikian, khusus persoalan a quo, Mahkamah pada akhirnya harus dapat menahan diri untuk tidak aktif melakukan langkah hukum progresif ataupun melakukan judicial activism sebagaimana yang diinginkan oleh para Pemohon," kata Hakim Konstitusi.

Melalui Putusan 145/PUU-XXI/2023 ini, Mahkamah menegaskan langkah judicial activism tidak dapat serta merta dijadikan sebagai penilaian untuk memenuhi 'desakan' para pencari keadilan.

"Terlebih, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 141/PUU-XXI/2023 telah ditegaskan bahwa jika terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi masih terdapat persoalan inkonstitusionalitas norma, termasuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang telah dinyatakan sebagai Putusan yang telah final dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, terhadap hal tersebut dapat dilakukan permohonan pengujian kembali di Mahkamah Konstitusi maupun melalui perubahan undang-undang (legislative review)," kata Mahkamah.

Baca juga: MK Tolak Uji Formil Batas Usia Capres-cawapres dari Denny Indrayana, Pengacara: Bakal jadi Bom Waktu

Sebelumnya, permohonan Perkara 145/PUU-XXI/2023 yang diajukan guru besar hukum tata negara Denny Indrayana di Mahkamah Konstitusi (MK) mengalami perbaikan pada Senin (11/12/2023).

Denny selaku Pemohon I bersama Pemohon II yakni Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar mengajukan uji formil Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai Putusan MK 90/PUU-XXI/2023.

Dalam sidang perbaikan permohonan itu, kuasa hukum para pemohon, Raziv Barokah, mengatakan saat ini di masyarakat sedang terjadi distrust (kurangnya kepercayaan) dalam pelaksanaan penegakkan hukum konstitusi.

Ia melanjutkan, dengan adanya Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 yang diujikan formil, masyarakat terkonstruksi bahwa penegakkan hukum itu tidak akan memunculkan keadilan subtantif.

"Hakimnya diberikan sanksi tapi putusannya tetap dijalankan dan dinikmati," kata Raziv dalam persidangan, Senin (11/12/2023).

Oleh karena itu, Raziv mendorong Mahkamah untuk memutus uji formil yang diajukan pihaknya menggunakan pendekatan hukum progresif.

"Konstruksi pemikiran masyarakat seperti ini yang perlu diperbaiki dengan menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial dan MK kami dorong untuk melakukan pengambilan keputusan menggunakan pendekatan hukum progresif. Gerakan judicial activism dan juga menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial untuk melawan rekayasa konstitusi yang dilakukan beberapa oknum untuk mempertahankan kekuasaan," ucapnya kepada majelis hakim panel.

(Tribunnews)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas