Soal Rencana Pembentukan 22 Kodam Baru, Jenderal Maruli Simanjuntak: Banyak Masyarakat Minta
Wacana pembentukan Kodam baru tersebut tercatat telah dikemukakan oleh KSAD yang saat itu tengah menjabat Jenderal TNI Dudung Abdurachman.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana pembentukkan Kodam baru kembali mengemuka setelah hal tersebut diungkapkan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto pada saat menyampaikan laporan kepada Presiden Joko Widodo dalam Eapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri di Mabes TNI Cilangkap Rabu (28/2/2024) kemarin.
Hari ini, Kapuspen TNI Mayjen TNI Nugraha Gumilar juga menegaskan melalui keterangan pers TNI akan membangun 22 Kodam baru untuk melengkapi 15 Kodam yang sudah ada.
Wacana pembentukan Kodam baru tersebut tercatat telah dikemukakan oleh KSAD yang saat itu tengah menjabat Jenderal TNI Dudung Abdurachman.
Dudung saat itu mengatakan pembentukan Kodam baru tersebut dinilai perlu dilakukan untuk mengimbangi jumlah Polda yang kini telah ada di setiap provinsi.
Rencana tersebut pun memicu reaksi dari masyarakat dan sejumlah tokoh.
Mereka yang cenderung menolak rencana tersebut menilai pembentukan Kodam di setiap provinsi tidak mendesak dan berpotensi memunculkan gesekan sosial dengan masyarakat sipil.
Menanggapi diskursus tersebut, KSAD Jenderal TNI Maruli Simanjuntak mengatakan justru ia menemukan banyak masyarakat di daerah meminta dibuatkan pos militer di daerahnya.
Mereka, kata Maruli, meminta hal tersebut karena membutuhkan kehadiran tentara di daerahnya.
Hal tersebut disampaikannya usai memimpin Rapim TNI AD 2024 di Balai Kartini Jakarta pada Kamis (29/2/2024).
"Ya memang, itu ya, kadang-kadang yang bisa bicara sampai ke media orang pengamat. Kalau saya kunjungan ke daerah mereka pada minta. Ya jadi ada banyak tempat yang bahkan bilang 'Pak, kami siapkan lahannya, Bapak tolong buatkan di sini Kodim, Batalion Koramil dan sebagainya' Karena memang kehadiran kami diperlukan oleh mereka," kata Maruli.
"Ya jadi mudah-mudahan nanti rekan-rekan media bisa mensurvei lah, biar bisa betul-betul mendapat pendapat yang sesuai dengan kemauan rakyat banyak," sambung dia.
Maruli juga mendengar reaksi masyarakat terkait rencana tersebut.
Namun demikian, reaksi tersebut berbeda dengan apa yang ditemuinya saat kunjungan ke daerah-daerah.
"Kan kalau orang yang mengamati dari Jakarta enggak ngerti kampung, kita juga enggak salahkan. Mungkin secara teori sekolahan bagaimana militer, bagaimana ini, kekuatan tidak sesuai dengan demokrasi, ya kami tampung," kata dia.
"Tapi yang saya bilang, kebanyakan saya kunjungan ke daerah-daerah, banyak hampir seluruhnya menyampaikan 'pak tolong bantu dibuatkan pos ramil lah supaya kami bisa untuk membantu mendamaikan masyarakat, membantu pembangunan, membantu pemahanan stunting, dan sebagainya'," sambung dia.
Dari sisi organisasi, ungkap Maruli, pembentukan pos militer di tingkat terkecil menimbulkan konsekuensi.
Konsekuensi tersebut yakni pengelolaan organisasi secara berjenjang.
"Kalau kami, kita sudah di minta pos ramil, berarti harus ada koordinatornya setelah beberapa puluh kodim. Setelah ada beberapa Kodim kita harus punya korem, setalah ada beberapa korem kebanyakan harus ada Pangdam," kata dia.
"Karena mungkin orang tidak merasakan bagaimana rasanya jadi Pangdam di tiga provinsi di Kalimantan. Pindah provinsi aja, harus lewat Jakarta, begitu, ini kira-kira persoalannya. Kami juga akan menjawab apa alasan kami kenapa perlu kodam itu," sambung dia.