Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Reaksi Menteri Bahlil Dilaporkan ke KPK soal Dugaan Korupsi Izin Tambang

Bahlil dilaporkan ke KPK lantaran diduga telah melakukan tindak praktik korupsi dengan proses pencabutan ribuan izin tambang sejak 2021-2023

Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Acos Abdul Qodir
zoom-in Reaksi Menteri Bahlil Dilaporkan ke KPK soal Dugaan Korupsi Izin Tambang
Tribunnews.com/Abdi Ryanda Shakti
Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia mendatangi Bareskrim Polri di Jakarta, untuk membuat laporan polisi soal dugaan pencatutan nama terkait pemberitaan permintaan upeti pemulihan izin usaha pertambangan (IUP), Jakarta, Selasa (19/3/2024).  

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdi Ryanda Shakti

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia buka suara soal dirinya dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi upeti pemulihan izin usaha pertambangan (IUP).

Bahlil mengaku hingga kini belum mengetahui soal adanya laporan terhadap dirinya soal dugaan tersebut.

"Oh saya enggak tau, saya enggak tau, saya belum tau," kata Bahlil kepada wartawan di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa (19/3/2024).

Dia enggan memberikan keterangan lebih lanjut soal pelaporan terhadap dirinya tersebut.

Baca juga: Menteri Bahlil Laporkan Dugaan Pencatutan Nama soal Minta Upeti Izin Tambang ke Bareskrim

Untuk informasi, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Bahlil dilaporkan ke KPK oleh Jaringan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pada Selasa (19/3/2024).

BERITA REKOMENDASI

Bahlil dilaporkan ke KPK lantaran diduga telah melakukan tindak praktik korupsi dengan proses pencabutan ribuan izin tambang sejak 2021-2023. Diduga Bahlil mematok tarif untuk pencabutan dan pengaktifan kembali izin tambang perusahaan yang tidak profuktif.

Diketahui, Bahlil Lahadalia selain menjadi Menteri Investasi, dia juga ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Ketua Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Investasi sejak 2021. Tugas Bahlil di antaranya mengurusi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Hak Guna Usaha (HGU) lahan di beberapa daerah.

Koordinator Nasional JATAM, Melki Mahar menjelaskan, laporan itu terkait dengan proses pencabutan ribuan izin tambang sejak 2021-2023.

Menurutnya, pelaporan ini menjadi penting untuk membuka pola-pola apa saja yang digunakan para pejabat negara terkait proses pencabutan izin yang menuai polemik.

Hal itu disampaikan Melki Mahar saat ditemui di depan Gedung Merah Putih KPK.

Ia mengklaim, JATAM telah mempelajari dengan serius landasan hukum Bahlil yang memiliki wewenang besar hingga bisa mencabut izin.

Baca juga: Kala KPK di Titik Nadir: Mantan Ketua hingga Pegawai Rutan Jadi Tersangka Kasus Korupsi

Melki menuturkan, Presiden Jokowi telah mengeluarkan tiga regulasi yang memberikan kuasa besar pada Bahlil Lahadalia.

Namun, JATAM menilai bahwa pencabutan izin tambang itu tak sesuai dengan aturan.

Ia menyebut, Bahlil cenderung tebang pilih dan penuh traksaksional.

Yang mana menurut Melki, hal itu justru menguntungkan diri, kelompok, atau badan usaha lain.

Karena itulah, JATAM mendesak KPK untuk menindaklanjuti laporan tersebut.

JATAM mengklaim pihaknya memiliki banyak informasi dan data.

Perkara ini bermula dari sebuah majalah nasional, Bahlil disebut membandrol jatah Rp 25 miliar bagi para pengusaha yang ingin izin tambangnya kembali diaktifkan.

Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto mendorong KPK memeriksa Bahlil.

Dalam keterangan resminya, Mulyanto menyebut Bahlil diduga menyalahgunakan wewenangnya sebagai Kepala Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.

Ia diduga mencabut dan menerbitkan kembali izin usaha pertambangan (IUP) dan hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit dengan imbalan miliaran rupiah maupun penyertaan saham di tiap-tiap perusahaan.

Polemik pemberitaan tersebut, Tempo juga sudah dilaporkan oleh Bahlil ke Dewan Pers hingga akhirnya dikeluarkan rekomendasi.

Ilustrasi tambang nikel
Ilustrasi tambang nikel (Kontan)

Dalam surat rekomendasi tersebut, Dewan Pers memutuskan terjadi pelanggaran Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik karena informasi yang tidak akurat. Surat tersebut juga merekomendasikan agar Teradu dapat melayani Hak Jawab disertai permintaan maaf.

“Teradu wajib melayani Hak Jawab dari Pengadu (Bahlil) secara proporsional, disertai permintaan maaf kepada Pengadu dan masyarakat pembaca, selambat-lambatnya pada edisi berikutnya setelah Hak Jawab diterima,” tulis Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu dalam surat tersebut, dikutip Senin (18/3/2024).

Baca juga: Polisi Ungkap Hasil Tes Poligraf Yudha Arfandi dalam Kasus Dante, Bohong soal CCTV hingga Kekerasan

Dalam surat tersebut Bahlil selaku Pengadu juga diminta memberikan Hak Jawab selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah surat dari Dewan Pers diterima dalam format ralat dengan prinsip-prinsip pemberitaan atau karya-karya jurnalistik, namun tidak boleh mengubah substansi atau makna Hak Jawab yang diajukan.

“Teradu wajib melaporkan bukti tindak lanjut PPR ini ke Dewan Pers selambat-lambatnya 3 x 24 jam setelah Hak Jawab dimuat. Apabila Pengadu tidak memberikan Hak Jawab dalam batas waktu, maka Teradu tidak wajib untuk memuat Hak Jawab,” ucapnya.

Jika Hak Jawab tak dilayani maka denda akan dikenakan sebagai sanksi sebesar Ro500 juta. Keputusan ini disebut bersifat final dan mengikat secara etik.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas