MK Tolak Permohonan Legalisasi Ganja Medis untuk Pengobatan
Meski demikian, Mahkamah Konstitusi meminta pemerintah Indonesia untuk melakukan kajian lebih lanjut terkait penggunaan ganja medis.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi peraturan perundang-undangan legalisasi ganja untuk pengobatan.
Hal itu sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol yang Mengubahnya.
Permohonan perkara nomor 13/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh seorang ibu rumah tangga bernama Pipit Sri Hartanti dan karyawan swasta Supardji.
"Menolak permohonan para Pemohon untuk semuanya," kata Ketua MK Suhartoyo, dalam sidang putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (20/3/2024).
Dalam pertimbangan hukum, Hakim Konstisi M. Guntur Hamzah mengatakan Indonesia tidak meratifikasi dokumen E/CN/7/2020/CRP.19, sehingga Indonesia tidak memiliki keterikatan untuk melegalisasi penggunaan ganja medis untuk pelayanan kesehatan.
"Belum adanya bukti ihwal pengkajian dan penelitian secara komprehensif pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka keinginan untuk menjadikan ganja atau zat kanabis untuk layanan kesehatan sekali lagi ihwan tersebut sulit dipertimbangkan dan dibenarkan oleh Mahkamah untuk diterima alasan rasionalitasnya," jelas Guntur.
Meski demikian, Mahkamah Konstitusi meminta pemerintah Indonesia untuk melakukan kajian lebih lanjut terkait penggunaan ganja medis. Menurut majelis hakim, hal itu penting dilakukan agar isu mengenai ganja medis bisa terjawab secara ilmiah.
Baca juga: MK Tolak Permintaan Sanksi Agar Partai Politik Dibubarkan Setelah Anggotanya Korupsi 10 Kali
Diketahui, Pipit dan Supardji selaku Pemohon, menginginkan ganja dapat digunakan untuk keperluan medis seperti terapi pengobatan. Namun, mereka menyadari pemanfaatan ganja untuk keperluan mereka terhalang oleh adanya aturan larangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan.
Oleh karena itu, mereka meminta agar MK menyatakan Pasal 1 Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1976 dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28H ayat 2 UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.