135 Purnawirawan Perwira Tinggi TNI-Polri Ajukan Amicus Curiae
Ratusan purnawirawan perwira tinggi TNI-Polri mengajukan sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan ke MK dalam sengketa perselisihan hasil Pilpres
Penulis: Yulis
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sebanyak 135 orang purnawirawan perwira tinggi TNI-Polri mengajukan sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sengketa perselisihan hasil Pilpres 2024.
Ratusan purnawirawan tinggi TNI-Polri yang tergabung dalam Forum Keprihatinan Purnawirawan TNI-Polri, di antaranya Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Sudarto, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso, Komjen Pol. (Purn) Oegroseno, Laksdya TNI (Purn) Deddy Muhibah, Irjen Pol (Purn) Anas Yusuf, dan Marsda TNI (Purn) Iman Sudrajat.
Fahrur Rozi dalam keterangan tertulis, yang dikutip pada Jumat (19/4/2024), menyatakan mendukung Majelis Hakim MK untuk membuat pertimbangan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat umum yang dirugikan akibat penyelenggaraan Pemilu 2024, yang tidak mengindahkan konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan etika moral, sejak proses perencanaan, pelaksanaan dan pasca Pemilu 2024.
“Kami juga mendukung Majelis Hakim MK untuk membuat pertimbangan bahwa hasil Pemilu bukan hanya sebatas masalah angka-angka statistik. Namun melihat Pemilu secara holistik integral sebagai sebuah proses demokrasi yang harus dijunjung tinggi yang justru saat ini “dilanggar” oleh penyelenggara Pemilu bahkan oleh penyelenggara negara sehingga meruntuhkan sendi-sendi demokrasi dan kepercayaan publik,” ujarnya.
Para purnawirawan perwira tinggi TNI-Polri itu mengajukan diri sebagai amicus curiae didasari keprihatinan atas Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia calon wakil presiden (cawapres) telah menciderai prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta mencederai nilai-nilai etika moral berbangsa dan bernegara, yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
"Sehingga berdampak negatif terhadap kehidupan demokrasi di Indonesia dan “merusak” mental generasi muda dengan lebih mengedepankan jalan pintas dalam meraih cita-cita dan mendapatkan kedudukan atau jabatan (mengabaikan prinsip-prinsip merit system)," tegas Fahrur Rozi.
Selain itu, penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden (paslon) nomor 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka melalui Keputusan KPU Nomor 1632/2023 tanpa melalui prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku menunjukkan bahwa KPU sebagai penyelenggara Pemilu tidak profesional dan tidak netral yang akan menjadi preseden buruk dalam penyelenggaraan kehidupan dan bernegara yang berwibawa, sekaligus akan menjadi contoh yang tidak baik bagi penyelenggaraan Pemilu yang akan datang.
Fahrur Rozi juga menyebut, keterlibatan (cawe-cawe) Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan para pembantu presiden (menteri) dalam berbagai kegiatan yang patut diduga menguntungkan pasangan paslon 02 seperti pemberian Bansos menjelang pelaksanaan Pemilu 2024, pengerahan ASN dan aparat desa, penunjukan penjabat kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota) dengan kewenangan yang “berlebih,” ketidaknetralan aparat TNI-Polri yang diarahkan untuk memenangkan Paslon 02.
"Hal itu merupakan praktik penyelenggaraan negara yang diskriminatif dan manipulatif, serta merusak tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa," lanjutnya.
Kemudian, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait perubahan usia Cawapres mendapat reaksi negatif dari berbagai kalangan masyarakat yang berujung pada Putusan Majelis Kehormatan MK Nomor 2/MKMK/L/11/2023 yang memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK telah merusak kewibawaan, marwah dan citra MK.
"Kami mendukung Majelis Hakim MK agar membuat putusan yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia, sehingga hal tersebut dapat memulihkan kembali kepercayaan publik terhadap marwah MK dan keberadaan negara Indonesia sebagai negara hukum, untuk memulihkan kehidupan demokrasi yang tercederai, etika moral yang dilanggar, dan rasa keadilan yang terzolimi," tukasnya.
Lebih lanjut, pendapat sahabat pengadilan yang tulus ini, ujar Fahri Rozi, sebagai masukan bagi hakim MK yang sedang memeriksa perkara perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 Nomor 1 dan 2/PHPU.PRES-XXII/2024.
"Kami menyadari bahwa para hakim MK yang mulia merupakan “Wakil Tuhan di Dunia” memiliki tanggung jawab bukan hanya kepada masyarakat Indonesia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Kuasa," katanya.
Di samping itu, para hakim MK memiliki tanggung jawab yang sangat besar dalam menjaga tetap tegaknya konstitusi negara Indonesia, walaupun mengalami “tekanan” yang begitu besar dalam menyelesaikan sengketa Pemilu 2024.
"Kami sangat yakin dengan integritas, kredibilitas, dan rekam jejak serta keberpihakan terhadap kebenaran dan keadilan, para hakim MK akan mengambil keputusan yang adil dan benar sesuai kehendak rakyat. Apa yang akan diputuskan Majelis Hakim MK akan menjadi legacy bagi MK sekaligus akan mempengaruhi masa depan bangsa yang saat ini sedang menghadapi berbagai problematika, khususnya dalam penyelenggaraan demokrasi, supremasi hukum, dan lemahnya kepemimpinan nasional," pungkasnya. (*