Jam Kerja Jadi Salah Satu Pemicu Depresi Calon Dokter Spesialis, Ketua IDI: Regulasi Harus Dibuat
Jam kerja terlalu tinggi berimbas waktu istirahat, makan, rehat, dan tidur berkurang sehingga menurunkan daya tahan tubuh dan keselamatan pasien.
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) soroti data hasil survei skrining kesehatan jiwa mahasiswa peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) RS vertikal per Maret 2024 dari Kementerian Kesehatan.
Kuesioner dijawab oleh total 12.121 mahasiswa PPDS di 28 rumah sakit vertikal menunjukkan ada 3,3 persen atau 399 calon dokter spesialis di RS Vertikal yang mengalami depresi bahkan merasa lebih baik mengakhiri hidup.
Terkait hal ini, Ketua IDI dr Adib Khumaidi ungkapnya salah satu pemicu depresi pada PPDS adalah persoalan jam kerja.
Baca juga: Empat Hari Kerja Dibayar Lima? Perusahaan Jerman Bereksperimen Kurangi Jam Kerja
Sebelumnya, Adib mengungkapkan jika pihaknya pernah melakukan survei pendahuluan pada saat Covid-19
Survei yang dilakukan kata Adib menggunakan lebih dari 10 pertanyaan dan dijadikan suatu referensi ilmiah.
"Jam kerja yang terlalu tinggi menyebabkan waktu istirahat, makan, rehat, dan tidur yang kurang sehingga menurunkan daya tahan tubuh dan keselamatan pasien berkurang," ungkapnya dalam konferensi pers Jumat (19/4/2024).
Menurut Adib, inilah yang dialami oleh peserta PPDS.
Merujuk pada sejumlah riset, dr Adib menyebut rata-rata ada 41 hingga 76 persen PPDS yang mengalami burnout, dan tujuh hingga 56 persen mengalami depresi.
Oleh karena itu, menurut Adib perlu untuk dibentuk regulasi tentang jam kerja.
"Ada tidak regulasi dibuat tentang jam kerja. Ini harus dibuat. Jam kerja ini bukan hanya consent kami di Indonesia. Di seluruh dunia kita punya kepentingan masalah jam kerja," tutupnya.