Menteri LHK Tegaskan Carbon Governance Kunci Regulasi Perdagangan Karbon
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya menegaskan, carbon governance kunci perdagangan karbon.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya menegaskan, carbon governance kunci perdagangan karbon.
Menurutnya, carbon governance menjadi penting dengan elemen dan penerapannya yang perlu menjadi perhatian bagi semua.
"Carbon governance merupakan instrumen koherensi aktualisasi pelaku bisnis dan pemerintah dalam proses yang diketahui secara terang dan dapat diikuti dengan baik oleh publik," kata Menteri Siti Nurbaya dalam keterangannya, Kamis (9/5/2024).
"Penerapan Carbon Governance akan menempatkan secara tepat sasaran aksi iklim dan nilai ekonomi karbon untuk kepentingan nasional," imbuhnya.
Pada konteks ini, Menteri LHK menyebut Perpres 98 yang merupakan refleksi kedaulatan sumber daya alam dengan nilai akhir yaitu karbon, harus menjadi pegangan nasional.
Ada pun sebelumnya ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo bahwa perdagangan karbon harus dengan tata kelola yang tepat.
Artinya, harus ada carbon governance sebagai pedoman, dimana dalam iklim dan karbon peran pelaku bisnis cukup besar.
Ditegaskan Menteri LHK, penerapan yang sembrono atas offset karbon hutan dapat berimplikasi pengurangan kawasan hutan yang berpindah ke luar negeri tanpa terkendali sehingga akan berimplikasi pada hilangnya kawasan negara.
Terkait ancaman hilangnya kawasan negara, KLHK sudah menangani kasus yang membahayakan kedaulatan negara sehingga harus diambil tindakan fan sanksi kepada yang bersangkutan dan bisa diambil contohnya di Indonesia.
"Ketika pemerintah melakukan pengawasan terhadap perusahaan konsesi hutan untuk langkah perbaikan, ternyata tidak bisa lagi dilakukan langkah atau operasional dilakukan oleh pemegang izin konsesi hutan tersebut, karena kendali pengelolaannya sudah berpindah ke pihak lain di luar negeri dan dalam hal contoh ini yaitu di Hongkong," ucap Menteri Siti.
Padahal, pemegang izin tersebut mendapat izin dari pemerintah RI dengan segala kewajibannya, yang tidak dapat dilaksanakan dan bahkan telah “menyerahkan” atau “mengalihkan” izin dari pemerintah RI kepada pihak lain di luar negeri.
Dengan kondisi pelanggaran atas perizinan kawasan hutan serta ketidaktaatan dalam aturan, maka kepada perusahaan yang demikian, oleh Pemerintah RI telah dijatuhkan sanksi pencabutan dan pembekuan .
Kondisi seperti itu, kata Menteri Siti, memberikan gambaran bahwa terjadi pengalihan konsesi ke luar negeri tanpa diketahui oleh pemerintah, tanpa kendali pemerintah, karena tidak mengikuti aturan dengan alasan merupakan kegiatan offset carbon voluntary.
"Bisa dibayangkan apabila pemegang izin definitif konsesi karbon (restorasi ekosistem) yang saat ini luasnya telah mencapai 215 ribu ha ijin definitif (6 perusahaan) dan sedang berproses menjadi sekitar 80 unit konsesi karbon dengan luas bisa mencapai di atas 2 juta ha, maka bisa terjadi pengalihan areal hutan negara ke luar negeri tanpa kendali dan tidak diketahui oleh pemerintah atas alasan voluntary," ucapnya.
Baca juga: Menteri LHK Tegaskan Pengaturan Perdagangan Karbon Demi Jaga Kedaulatan Negara
Dengan demikian, secara tidak disadari wilayah yang luas hingga jutaan hektar tersebut telah akan beralih ke luar negeri tanpa bisa diketahui ke mana beralihnya dan dikuasai oleh siapa.
“Perdagangan karbon yang sembrono bisa merongrong kewibawaan dan kedaulatan negara. Untuk itu ada persyaratan untuk perdagangan karbon agar tidak membahayakan kedaulatan negara dan harus diatur oleh pemerintah atas nama kekuasaan negara," pungkas Menteri Siti.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.