Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Respons Kemendikbudristek hingga Anggota DPR Terkait Polemik Biaya UKT Mahal

Respons Kemendikbudristek hingga anggota DPR soal tingginya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di perguruan tinggi saat ini.

Penulis: Muhamad Deni Setiawan
Editor: Pravitri Retno W
zoom-in Respons Kemendikbudristek hingga Anggota DPR Terkait Polemik Biaya UKT Mahal
TribunSolo.com/Ahmad Syarifudin
Aliansi BEM se-UNS menggelar aksi massa di depan gedung rektorat menuntut agar Rektorat Universitas Sebelas Maret atau UNS menghapus Kelompok 9 Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan kenaikan Iuran Pengembangan Institusi (IPI), Senin (13/5/2024). 

TRIBUNNEWS.COM - Tingginya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di perguruan tinggi saat ini tengah menjadi sorotan.

Sejumlah mahasiswa telah menyampaikan keluhannya terkait hal ini dan melakukan demo di kampus masing-masing.

Misalnya, demo yang dilakukan mahasiswa Universitas Riau (Unri), Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, hingga Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Polemik tingginya biaya UKT pun juga sudah direspons oleh sejumlah pihak. Berikut di antaranya.

Kemendikbudristek

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) merespons kasus tingginya biaya UKT dengan membeberkan biaya operasional yang ditanggung langsung oleh Perguruan Tinggi Negeri (PTN).

Biaya tersebut meliputi belanja Alat Tulis Kantor (ATK) hingga membayar dosen yang bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Hal ini disampaikan Sesditjen Dikti Ristek Kemendikbudristek, Tjitjik Srie Tjahjandarie, dalam Taklimat Media di Kantor Kemendikbudristek Jakarta, Rabu (15/5/2024).

Berita Rekomendasi

"Biaya perkuliahan itu kan pasti butuh ATK, butuh kemudian LCD, ada pemeliharaan."

"Kemudian dosennya kan mesti harus dikasih minum, harus kemudian dibayar. Memangnya dosen gratis?" ujarnya.

Tjijik mengungkapkan biaya perkuliahan juga termasuk untuk pembiayaan kegiatan praktikum.

Biaya pratikum, sambungnya, tak bisa dipukul rata setiap kelas maupun antar-program studi.

Baca juga: UI Sudah Tetapkan UKT dan IPI untuk Mahasiswa Baru

"Seperti saya (mengajar) di Kimia. Pratikum itu satu kelas itu maksimal 25 orang. Dan per kelompok praktikum itu hanya 2 sampai 3 orang."

"Bahan habis setiap kelompok praktikum kan berbeda-beda. Topik praktikumnya itu kan berbeda. Kan banyak. Ini kan yang kita masuk dengan biaya operasional," jelasnya.

Tjitjik menyebut penerapan praktikum yang sesuai standar prosedur juga membutuhkan biaya.

"Kita perlu alat peraga sehingga mahasiswa ini bisa mendapatkan pemahaman yang lebih real terkait dengan konsep-konsep keilmuan yang diajarkan."

"Mereka harus diskusi, itu kan berarti sudah pembiayaan operasional," ungkap Tjitjik.

Kemudian biaya lain ialah UTS serta ujian-ujian lain, seperti ujian tugas akhir maupun skripsi.

Meski begitu, Kemendikbudristek memberikan Rp4,7 triliun setiap tahun kepada 76 PTN akademik untuk revitalisasi di PTN tersebut.

Namun, anggaran tersebut dialokasikan bukan untuk operasional.

"Itu adalah untuk investasi dan updating sarana yang ada di perguruan ini. Terutama adalah sarana untuk praktik, laboratorium, dan sarana-sarana untuk pelatihan-pelatihan yang bisa mengembangkan inovasi yang ada di perguruan ini," tuturnya.

Gen KAMI

Ketua Umum Gen KAMI (Gerakan Komunitas Aktivis Milenial Indonesia), Ilham Latupono, mengecam kebijakan kenaikan UKT.

Menurutnya, kenaikan biaya kuliah adalah bentuk pengkhianatan terhadap visi Indonesia Emas 2045.

“Kenaikan UKT ini bentuk pengkhianatan pimpinan kampus terhadap Visi Nasional Indonesia Emas 2045."

"Alih-alih menyediakan pendidikan murah, para rektor justru menaikkan uang kuliah,” kata Ilham dalam keterangannya, Rabu (15/5/2024).

Ia khawatir apabila kenaikan biaya kuliah di kampus negeri ini akan memengaruhi pembentukan generasi emas yang nantinya akan memimpin Indonesia.

“Mahasiswa hari ini, akan menjadi pimpinan bangsa dan negara ini di tahun 2045. Bayangkan jika mereka putus kuliah, karena kenaikan UKT yang tidak kira-kira ini,” ujarnya.

Atas dasar itu, ia mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mesti turun tangan.

Jokowi perlu memerintahkan Mendikbudristek, Nadiem Makarim, untuk segera membatalkan kenaikan UKT serta melakukan evaluasi menyeluruh terhadap operasional PTN. 

"Jangan sampai desentralisasi kampus justru semakin menonjolkan komersialisasinya. Apalagi kalau sampai mengorbankan mahasiswa,” ujarnya.

Ilham justru curiga, kenaikan UKT yang melonjak dan mendadak merupakan upaya sabotase kelompok tertentu terhadap kebijakan Jokowi. 

Pasalnya, kenaikan biaya kuliah justru terjadi di saat kondisi politik bangsa ini belum stabil setelah Pemilu 2024. 

Apalagi ditambah saat ini merupakan masa transisi kepemimpinan dari Jokowi ke Prabowo Subianto yang telah ditetapkan sebagai presiden terpilih.

Di sisi lain, Ilham meyakini Jokowi masih memiliki komitmen yang tinggi terhadap visi Indonesia Emas 2045. 

Namun, tanpa didukung oleh generasi emas, visi tersebut tentunya akan mustahil terwujud.

Menurutnya, kejadian ini sekaligus harus menjadi pengingat bagi Prabowo selaku presiden terpilih untuk konsisten dan komit terhadap visi Indonesia Emas 2045.

“Perlu komunikasi yang intens antara Jokowo dan Prabowo untuk melanggengkan upaya menuju Visi Indonesia Emas. Terutama di masa transisi kepemimpinan saat ini,” terangnya.

Anggota DPR

Anggota DPR RI dari Fraksi PAN, Guspardi Gaus, mengaku memahami kegelisahan dari para mahasiswa dan para orang tua dikarenakan sejumlah perguruan tinggi menaikkan UKT.

Di mana kenaikannya berkisar antara 50 persen sampai 100 persen.

"Semestinya, kenaikan UKT dilakukan secara bertahap, jangan dilakukan secara mendadak."

"Apalagi kondisi penghasilan rata-rata masyarakat Indonesia saat ini belum begitu bagus, peningkatan UKT yang tinggi sungguh tidak logis dan tidak relevan," kata Guspardi kepada wartawan, Jumat (10/5/2024).

Menurutnya, saat ini banyak mahasiswa maupun orang tua yang merasakan beratnya biaya kuliah di PTN sehingga kondisi tersebut membuat mereka tertekan secara mental.

"Situasi ini harus menjadi perhatian dari pemerintah dan muncul langkah-langkah terobosan untuk mengatasinya," ucapnya.

Ia menilai, biaya kuliah yang tinggi mengakibatkan Perguruan Tinggi Negeri yang berstatus PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum) sulit diakses oleh golongan tidak mampu.

Jalan yang ditempuh oleh mahasiswa yang tidak mampu adalah meminta keringanan biaya kuliah.

Namun, dari pengalaman sejumlah mahasiswa, upaya itu sering memakan waktu lama dan belum tentu pula berhasil.

"Sejatinya konsep PTN- BH bagaimana pihak perguruan tinggi harus pandai mencari pendanaan di luar dari student body dan di luar subsidi pemerintah, karena tidak lagi sepenuhnya bergantung pada APBN."

"Jangan malah mengandalkan jumlah penerimaan dari mahasiswa. Itu bukan intisari dari peningkatan perguruan tinggi berbadan hukum dan jelas PTN-BH ini belum berjalan dengan sempurna," ujarnya.

Oleh sebab itu, Guspardi menyebut perlu dilakukan evaluasi dan kajian terhadap otonomi dan mekanisme pendanaan PTN-BH.

Khususnya terkait otonomi pengelolaan pendanaan dan kebijakan, agar pendidikan tinggi di Indonesia yang berstatus PTN-BH tetap terjangkau bagi masyarakat luas.

"Jangan sampai otonomi pengelolaan sumber pendanaan penyelenggaraan pendidikan ini bermuara pada munculnya komersialisasi pendidikan yang memberatkan mahasiswa yang mampu secara ilmu dan ingin tetap kuliah, merasa tidak mampu karena faktor ekonomi, karena terbebani soal kenaikan UKT," pungkasnya.

(Tribunnews.com/Deni/Chaerul/Fahdi)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas