Industri Periklanan Minta Dilibatkan Dalam Perumusan Aturan Tembakau di RPP Kesehatan
Wakil Ketua DPI dan Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), Janoe Arijanto, mengungkapkan bahwa pihaknya telah menaati peraturan.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Wahyu Aji
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPI dan Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), Janoe Arijanto, mengungkapkan bahwa pihaknya telah menaati peraturan mengiklankan produk turunan tembakau.
Sehingga Janoe menilai adanya rencana aturan baru di RPP Kesehatan terkait pengetatan jam tayang iklan maupun area beriklan produk tembakau akan memunculkan konsekuensi dan berdampak signifikan pada bisnis periklanan.
"Kita ingin mendiskusikan hal ini karena serapan tenaga kerja di (industri) periklanan kan banyak yang berhubungan secara langsung dengan produksi iklan dan penayangan iklan. Di industri periklanan itu, seperti yang disebutkan sebelumnya, ada sekitar 725 ribu tenaga kerja. Jadi, itu yang akan terdampak,” ungkap Janoe melalui keterangan tertulis, Minggu (2/5/2024).
Padahal, Janoe mengungkapkan, rokok merupakan produk legal yang dapat dipasarkan melalui iklan.
Maka, rencana pengetatan iklan rokok akan mempengaruhi kinerja industri periklanan, di mana dalam setahun rata-rata industri periklanan dapat memperoleh sekitar Rp9-10 triliun yang didominasi oleh industri rokok.
Janoe juga memperkirakan adanya potensi penurunan yang dapat terjadi jika pembatasan dan penyempitan iklan rokok diberlakukan, maka industri periklanan dapat kehilangan pendapatan hingga Rp9 triliun.
"Peraturan ini akan memberikan multiplier effect dan yang terdampak langsung adalah pihak produksi yang memproduksi berbagai konten, iklan TV, atau iklan lainnya. Itu juga terdampak ya. Jadi, sebenarnya banyak sektor-sektor lainnya yang akan terdampak juga, seperti sektor pemasaran dan lainnya," kata Janoe.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI), Emil Mahyudin, mengatakan pelarangan total sponsorship dari produk tembakau pada kegiatan konser dan festival musik akan berdampak signifikan.
Karena sebagian besar, bahkan hampir seluruhnya, kegiatan pertunjukan tidak cukup hanya mengandalkan dari penjualan tiket saja. Namun, salah satunya juga mengandalkan pemasukan sponsor.
"Di Indonesia banyak sekali event yang semuanya terdapat kontribusi dari industri rokok. Bayangkan kalau kita kehilangan pendapatannya, apalagi industri ini baru saja terdampak oleh Covid-19 dan baru mau pulih kembali," kata Emil.
Emil menyatakan APMI juga pernah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta pelibatan industri kreatif dalam pembahasan aturan tembakau di RPP Kesehatan dan bermitra dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) untuk membuka audiensi terkait pelarangan sponsorship produk tembakau tersebut.
Namun hingga sekarang, pihaknya masih belum diajak untuk berdiskusi terkait aturan yang dinilai akan mempersulit keberlangsungan industri kreatif.
"Pelarangan-pelarangan bagi produk tembakau yang sekarang sedang digagas di RPP Kesehatan yang mungkin mengacu kepada negara lain itu sebetulnya tidak bisa disamakan dengan apa yang terjadi di Indonesia," katanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.