Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pengamat Kritisi Wacana Presiden Kembali Dipilih MPR

Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga kritisi wacana sistem pemilihan presiden dikembalikan oleh MPR.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Theresia Felisiani
zoom-in Pengamat Kritisi Wacana Presiden Kembali Dipilih MPR
YouTube Sekretariat Presiden
Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M.cJamiluddin Ritonga, mengkritisi wacana sistem pemilihan presiden dikembalikan oleh MPR. Menurutnya wajar jika ada penolakan 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga, mengkritisi wacana sistem pemilihan presiden dikembalikan oleh MPR.

Menurutnya wajar jika ada penolakan mengamandemen pasal terkait sistem pilpres, karena dinilai bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat. 

"Hal ini juga sejalan dengan roh sistem demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Karena itu, presiden yang dipilih rakyat harus mewakili suara rakyat," kata dia kepada wartawan Senin (10/6/2024).

Hal itu juga sejalan dengan konsep sistem pemerintahan presidensil. 

Jamiluddin menyebut dalam sistem ini, presiden dipilih oleh rakyat dimana mandatnya langsung dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

Karena itu, tidak ada yang salah dalam pemilihan presiden secara langsung. 

"Sistem itu justru mencerminkan kedaulatan rakyat sesungguhnya, tanpa diwakilkan melalui MPR. Hanya saja ini dapat dilaksanakan bila berlaku dan tegaknya hukum di Indonesia dan diakuinya Hak Asasi Manusia (HAM) oleh setiap anggota masyarakat," ucap dia.

BERITA REKOMENDASI

Lebih lanjut, Jamiluddin tidak setuju alasan mengembalikan sistem pilpres langsung ke tidak langsung karena maraknya politik uang, 

Pasalnya, jika ini yang terjadi, maka masalahnya bukan sistem pilpresnya, tapi pihak-pihak yang menjadi peserta pilpres, termasuk capresnya sendiri. 

"Dalam konteks ini, peserta pilpres, termasuk calonnya, justru yang mengabaikan hukum dan HAM. Sebab dengan membenarkan politik uang, mereka justru sudah tidak tegak melaksanakan hukum dan melanggar HAM," ujarnya.

"Karena itu, kalau pilpres langsung dinilai biaya tinggi, bisa jadi hal itu justru datang dari peserta capres dan calonnya. Mereka bisa saja melakukan politik uang, memberi sembako, biaya perjalanan dengan tim yang gemuk, jor-joran iklan, serta biaya untuk saksi," imbuhnya.

Baca juga: Isu Amandemen UUD, Sjarifuddin Hasan: Kami Tidak Pernah Membahas Pilpres Dikembalikan Ke MPR

Jamiluddin menambahkan, pilpres langsung dinilai akan memunculkan keterbelahan ditengah masyarakat, juga tidak logis. Sebab, sudah berulang pilpres secara langsung keutuhan NKRI tetap terjaga.


Karena itu, keterbelahan di tengah masyarakat dapat diatasi bila peserta pilpres hanya menyampaikan visi, misi, dan program kerjanya. Peserta pilpres tidak perlu menguliti capres lainnya dengan berbagai pesan negatif.

"Jadi, bila semua itu dilakukan, seharusnya tidak ada alasan yang kuat untuk mengembalikan pilpres secara tidak langsung. Hal itu tak boleh dilakukan karena membawa Indonesia mundur ke masa Orba," tandasnya.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas