Urgensi Modernisasi Alutsista TNI AU di Tengah Eskalasi Konflik Laut China Selatan
Membangun Angkatan Udara membutuhkan waktu dan biaya yang mahal. Namun patut diingat, hal itu sepadan dengan "harga" yang diterima.
Penulis: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Malvyandie
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebelum Rusia melakukan serangan ke Ukraina tanggal 24 Februari 2022, masih banyak yang meyakini perang konvensional skala besar tak akan terjadi lagi di masa kini.
Namun, pandangan itu terbantahkan. Apalagi serangan militer Rusia ke Ukraina dilakukan di tengah pandemi Covid-19 melanda dunia.
Setiap negara kini mulai menyadari, Jika perang bisa terjadi di daratan Eropa, hal yang sama bisa juga terjadi di belahan dunia lain.
Di antara hot spot atau titik api yang diprediksi berpotensi bisa menjadi medan perang adalah kawasan Laut China Selatan. Di kawasan ini dua poros akan saling berhadapan: Amerika Serikat dan China.
Meski Indonesia bukan sebagai pihak yang terkait langsung, Jakarta tentu harus mengantisipasi segala kemungkinan terburuk bahwa eskalasi bisa berujung pada pecahnya perang.
Apalagi dengan adanya klaim China yang menyatakan bahwa Laut China Selatan merupakan teritorial milik mereka.
Apa yang harus dipersiapkan TNI, khususnya Angkatan Udara terkait potensi ancaman di atas?
Pertama, tentu modernisasi alutsista harus menjadi prioritas.
Alat utama sistem senjata, perlengkapan, dan amunisi pun banyak yang telah melampaui waktunya.
Plt Sekjen Kementerian Pertahanan, Donny Ermawan Taufanto, dalam sebuah diskusi Mei lalu, mengatakan, sebagian besar alutsista TNI sebagian besar sudah waktunya untuk diganti.
Donny mengatakan, Indonesia saat ini hanya mengandalkan 33 pesawat F-16 AM, BM, C dan D yang sudah berusia lebih dari 30 tahun serta 16 pesawat Sukhoi 27 dan 30 dengan usia hampir 20 tahun sebagai pesawat tempur utama.
Kondisi di atas, menurut Donny, yang menjadi salah satu yang melatarbelakangi pemerintah, dalam hal ini Kemhan, melakukan rencana pengadaan puluhan pesawat tempur Rafale dan F-15 IX.
"Ini adalah salah satu upaya pemerintah dalam memperkuat matra udara, yakni TNI Angkatan Udara," ujarnya ketika itu.
Rencana modernisasi sekaligus penguatan alutsista TNI AU ini juga direspons positif Analis Hubungan Internasional Rangga Deristaufani. Ia mengapresiasi kebijakan pemerintah, dalam hal ini Kemhan, yang menyadari pentingnya pengadaan persenjataan baru, modern, dan canggih.
"Pembelian jet tempur Rafale, misalnya, bukan hanya dalam rangka memperkuat efek deteren, di mana perbandingan postur pertahanan udara RI masih jauh di bawah kekuatan Tiongkok, Amerika Serikat, bahkan Singapura, melainkan juga memberikan pesan bahwa RI tidak menganggap sepele kedaulatan wilayah udara RI di wilayah LCS/LNU (Laut Natuna Utara--Red)," katanya kepada Tribunnews.com, Kamis (20/6/2024).
Alumni Kajian Ketahanan Nasional, Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI ini juga secara khusus juga menyoroti eskalasi yang terjadi di "teras depan" Indonesia tersebut.
Menurut Rangga, meskipun potensi yang dihadapi relatif Low Risk mengingat negara-negara claimant states di LCS/LNU tidak memiliki intention untuk bermusuhan apalagi berperang terbuka dengan Indonesia, namun postur dengan gap yang asimetris tersebut sangat rentan bagi Indonesia.
"Sehingga pengaadaan alutsista seperti jet tempur Rafale merupakan suatu kebijakan rasional dalam rangka meningkatkan alutsista tempur utama udara RI."
Selain itu, sambungnya, pembelian Rafale juga atas pertimbangan non teknis-diplomatis, di mana menegaskan posisi Indonesia dengan memilih produk buatan Perancis akan menghindarkan Indonesia dari sanksi AS yang dikenal dengan CAATSA (Countering America’s Adversaries Through Sanction Act). Di sisi lain, juga mengisyaratkan netralitas terhadap Tiongkok.
Alustsista yang harus dimiliki TNI AU
Lebih lanjut Rangga mengatakan, untuk merespon dinamika ancaman keamanan di wilayah LCS/LNU, TNI AU perlu memperkuat kapabilitas interoperabilitas (interoperability) dalam skema Network-Centric Warfare (NCW).
"Jelas sejumlah teknologi pertahanan sangat diperlukan dalam mengantisipasi dan mengimbangi kecanggihan teknologi militer negara-negara lain, termasuk pesawat tempur nirawak atau Unmanned Combat Aerial Vehicle atau UCAV," katanya.
Termasuk, sambungnya, radar-radar canggih yang mempunyai kemampuan menghadapi peperangan elektronika ECM (Electronic Counter Measure) bahkan mendeteksi rudal balistik.
"Radar-radar itu juga harus mampu menutup semua blind spot di seluruh Indonesia. Bukan hanya sebagian tapi seluruh wilayah udara Indonesia. Selain itu, Interoperabilitas merupakan kata kunci yang penting, khususnya menyangkut sinkronisasi antar alutsista dan antara alutsista dengan markas komando dan kendali," katanya.
Apakah hanya alutsista?
Dalam catatan redaksi, sejauh ini, Indonesia telah menyegel kesepakatan pembelian pesawat tempur Rafale dari Prancis sebanyak 42 unit. Kontrak dengan Dassault untuk pembelian jet tempur "omnirole" itu ditandatangani pada Februari 2022.
Secara bertahap Indonesia memenuhi kewajiban administrasinya pada September 2022 dan Agustus 2023 masing-masing untuk enam dan 18 pesawat Rafale. Kini, semua tahap telah dinyatakan selesai.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebelumnya mengatakan, diperkirakan tahap pertama kedatangan Rafale akan dimulai pada 2026.
Selain Rafale, Indonesia juga mengincar pembelian jet tempur F-15EX buatan Boeing Amerika Serikat.
Kementerian Luar Negeri AS sebenarnya telah menyetujui untuk penjualan 36 jet tempur F-15EX (untuk Indonesia diberi kode F-15ID) beserta kelengkapannya kepada Indonesia dengan skema Penjualan Militer Asing (FMS) senilai 13,9 miliar dolar AS.
Namun rencana pembelian jet tempur F-15EX oleh Kementerian Pertahanan RI tertunda karena pembiayaan untuk mengakuisisinya belum mendapatkan pengalokasian dari Kementerian Keuangan.
Selain pesawat tempur, Indonesia telah mendatangkan lima unit pesawat angkut C-130J-30.
Bahkan, salah satu pesawat Super Hercules dengan nomor ekor A-1340 telah sukses melaksanakan operasi kemanusiaan dengan menjatuhkan bantuan logistik lewat udara (airdrop) di Gaza, Palestina, 9 April silam.
Tak hanya Super Hercules, dua unit pesawat tanker dan transport A400M Multi Role Tanker and Transport (MRTT) dari Airbus juga telah diakuisi pemerintah.
Selain itu, TNI AU juga akan kedatangan 25 radar dan 12 unit pesawat nirawak (unmanned aerial vehicle) atau drone ANKA buatan Turkish Aerospace.
Melihat hal di atas, Rangga mengatakan masih ada pekerjaan rumah yang tak kalah penting yang harus diselesaikan TNI AU.
"Seiring pengadaan beragam alusista yang akan melengkapi TNI AU guna mendongkrak kekuatan tempurnya, insitusi ini juga punya tantangan besar, yakni soal sumber daya manusia," katanya.
Rangga mengingatkan, dengan banyaknya alutsista yang datang, TNI AU harus mampu mengimbanginya dengan menyiapkan sumber daya manusia (SDM) pengawak atau pengoperasinya secara proporsional.
Bertambahnya pesawat, entah jenis tempur, angkut, bahkan drone sekalipun berarti bertambah pula jumlah penerbang, ground crew, hingga SDM.
"Apalagi penerbang. Ini cukup krusial karena untuk mendidiknya membutuhkan waktu yang lama. Misalnya 1.000 atau 1.500 jam tempur. Ini bukan waktu yang singkat. Mungkin saja membutuhkan waktu hingga 10 atau 15 tahun bagi seorang penerbang untuk menguasai betul pesawatnya. Rasanya ini perlu jadi perhatian khusus bagi pimpinan TNI AU," pungkas Rangga.
Harus diakui, perjuangan TNI AU menjadi Angkatan Udara modern dan kuat yang mampu menjadi perisai sekaligus pedang bagi NKRI, tidaklah mudah.
Membangun Angkatan Udara membutuhkan waktu dan biaya yang mahal. Namun patut diingat, hal itu sepadan dengan "harga" yang diterima. TNI AU yang canggih, kuat, dan modern, akan menjamin keamanan Indonesia dari berbagai ancaman.
Sebaliknya, jika berkaca pada sejumlah perang modern yang terjadi, negara dengan angkatan udara yang lemah hanya akan menjadi bulan-bulanan lawannya di medan pertempuran.
Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) Marsekal TNI M Tonny Harjono dalam sebuah kesempatan beberapa waktu lalu, menegaskan tekadnya mewujudkan TNI AU menjadi Angkatan Udara yang AMPUH yakni Adaptif, Modern, Profesional, Unggul, dan Humanis.
Dalam TNI AU yang AMPUH, Kasau berharap TNI Angkatan Udara ke depan menjadi Modern dalam Alutsista dan juga sumber daya manusia yang akan mengawakinya.
"Unggul bermakna dedikasi Angkatan Udara mencapai standart kinerja yang tertinggi dalam setiap aspek operasional, unggul berarti berusaha yang terbaik, berusaha dengan kedisiplinan yang tinggi, loyalitas tanpa batas, dan ketangguhan dalam menghadapai berbagai bentuk ancaman," pungkas Kasau.