Minim Pengawasan Orangtua, Hampir Setengah Juta Anak di Indonesia Kecanduan Judi Online
Hampir setengah juta anak di Indonesia sudah kecanduan judi online. Usia anak bahkan masih 10 tahun atau kurang.
Editor: Erik S
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- MAFIA judi online juga mulai membidik anak-anak SD sebagai pangsa pasar. Hampir setengah juta anak di Indonesia sudah kecanduan judi online.
Mengutip data Satuan Tugas Pemberantasan Judi Daring, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah, mengatakan anak-anak yang susah terpapar judi online itu bahkan masih berusia 10 tahun atau kurang. Sisanya, sekitar 400 ribuan, masih berusia belasan.
Ai mengatakan, data-data ini menjadi acuan dalam memberi dukungan perlindungan kepada anak-anak. Anak-anak yang terpapar, ujar Ai, harus dijangkau untuk direhabilitasi dan dipulihkan.
Baca juga: Wakil Ketua MPR: Pencegahan Judi Online terhadap Anak Harus segera Dilakukan
"Harus dipikirkan langkah-langkah terstruktur menjangkau anak-anak ini, bukan hanya di dalam data atau pemblokiran website yang sampai sekarang kami apresiasi terus. Tapi, jangkauan ke anak-anak penting," ujar Ai.
Komisioner KPAI, Kawiyan, fenomena judi online yang memapar anak-anak ini memang sudah sangat mengkhawatirkan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), 88,9 anak Indonesia usia 5-17 tahun sudah tersambung dengan internet dan sebagian besar dari mereka konsumsi media sosial.
"Jika tak ada pengawasan dan pendampingan orangtua, anak-anak akan mudah terpapar konten-konten media sosial, termasuk di dalamnya judi online," ujarnya.
Selama ini, ujar Kawiyan, para orangtua yang memiliki waktu untuk melakukan pengawasan, kerap tak mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang digital.
Di sisi lain, para orangtua yang mempunyai kemampuan dalam literasi digital, justru tak memiliki waktu untuk mengawasi anak-anaknya.
"Di sinilah masalahnya. Padahal, pengawasan dan pendampingan orangtua terhadap anak-anak merupakan hal yang mutlak. Banyaknya konten di media sosial yang tidak sesuai dengan usia anak, juga menjadi salah satu faktor anak kecanduan, termasuk di dalamnya konten judi online dan iklan judi online. Bahkan, konten permainan judi online banyak yang dirancang untuk menarik minat anak-anak dengan tema dan grafis yang menarik," ujarnya.
Sulit Berhenti
Psikolog Prita Pratiwi mengatakan judi menjadi sangat menggoda karena memuncul perasaan berhasil dan puas saat bisa memenangkan permainan sekaligus penasaran saat gagal memenangkan permainan.
Dalam judi online, permainan yang awalnya mudah lama kelamaan akan menjadi lebih sulit untuk dimenangkan. Untuk menimbulkan rasa penasaran, seringkali pemain sengaja ditempatkan pada posisi “sedikit lagi menang”.
“Rasa penasaran yang berkepanjangan membuat pemain craving terhadap perasaan puas, sehingga sulit untuk berhenti,” ujarnya.
Baca juga: Promosikan Judi Online, 2 Selebgram Diringkus Polisi, Ada yang Buka Layanan VCS
Mirisnya, judi juga mulai memapar para pelajar.
“Pelajar, masih berada dalam fase pre-teen sampai dengan remaja masih berada di fase labil. Pertimbangan yang mereka lakukan untuk membuat keputusan masih belum matang. Masih lebih banyak dikuasai oleh perasaan,” ujar Prita.
Di sisi lain, kebutuhan untuk bisa merasa puas atas capaian prestasi tertentu menjadi begitu pentingnya bagi mereka.
"Oleh sebab itu, pelajar menjadi lebih mudah terkena judi online," ujarnya.
Sosiolog Universitas Padjadjaran, Ari Ganjar Herdiansah, mengatakan maraknya judi online akhir-akhir ini, salah satunya karena begitu mudahnya aplikasi judi diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Mudahnya transaksi keuangan dalam judi online juga menjadi pemicu.
Baca juga: Muncul Petisi Tandingan Minta Menkominfo Budi Arie Lanjut Tumpas Judi Online
"Dengan uang Rp 10 ribu saja via pulsa bisa digunakan untuk isi deposit judi online. Pembelian deposit di gerai-gerai minimarket belakangan juga semakin mudah," ujarnya.
Ari mengatakan, keresahan masyarakat tentang judi online ini sebenarnya juga sudah sejak lama. Kasus-kasus soal dampak negatif judi online di masyarakat sudah merebak.
"Tetapi pemerintah kurang responsif," ujarnya.
Pembentukan Satgas untuk meretas judi online seharusnya sudah dilakukan pemerintah sejak dulu."
Kondisi ekonomi sebagian besar masyarakat yang berat, menurut Ari, juga menjadi penyebab judi online menjadi begitu maraknya di Indonesia.
"Judi online dianggap menjadi harapan untuk keluar dari kesulitan ekonomi," ujarnya.
Baca juga: Dua Anggota DPR dan 58 Karyawan DPR Terlibat Judi Online, Transaksi Mencapai Rp 1,9 Miliar
Harus diakui, menurut Ari, permainan judi online memang memicu adrenalin dan rasa penasaran. Bagi pelakunya, ini juga menjadi hiburan yang mudah diakses.
"Tapi ini menimbulkan adiksi, sehingga yang kena bukan hanya orang kepepet ekonomi tapi semua kalangan, termasuk ASN dan pelajar," ujarnya.
Judi online yang beroperasi di ranah sangat privat di gawai masing-masing, membuat kontrol masyarakat sekitar, termasuk keluarga, menjadi sulit dilakukan.
Itu sebabnya, untuk mengatasinya, keseriusan pemerintah sangat diperlukan.
"Sebab, episentrum judi online ada di sistem jaringan internet yang pengawasan dan pengendaliannya berada di bawah pemerintah," tegasnya.
Antisipasi lainnya adalah meningkatkan pengawasan sosial dari lembaga-lembaga yang ada di masyarakat, mulai dari keluarga, agama, otoritas kewilayahan (RT/RW), dan kelompok-kelompok sipil lainnya.
"Mereka harus aktif mengkampanyekan bahaya judi online," ujarnya.
KORBAN JUDI ONLINE
- 80 ribu penjudi berusia kurang dari 10 tahun
- 440 ribu penjudi berusia belasan tahun
- 520 ribu penjudi berusia 21-30 tahun
- 1,6 juta penjudi berusia 30-50 tahun
- 1,35 juta penjudi berusia di atas 50 tahun
Besar Transaksi
- Menengah-Bawah, Rp 10 ribu-Rp 100 ribu
- Menengah-Atas, Rp 100 ribu - Rp 40 miliar
(nandri prilatama/nappisah)