TB Hasanuddin Menilai Kehadiran DPA Justru Membuat Pemerintahan tidak Efektif & Efisien, Mengapa?
Hasanuddin menilai DPA yang akan dibuat setara dengan Presiden justru membuat persoalan baru.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Dewi Agustina
![TB Hasanuddin Menilai Kehadiran DPA Justru Membuat Pemerintahan tidak Efektif & Efisien, Mengapa?](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/wawancara-khusus-dengan-anggota-komisi-i-dpr-tb-hasanuddin_20240716_231104.jpg)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi I DPR RI TB Hasanuddin mempertanyakan urgensi dari rencana mengubah nomenklatur Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Dia menilai DPA yang akan dibuat setara dengan Presiden justru membuat persoalan baru.
"Begini kita kan sudah memilih sistem kita presidensial. Ya presiden memiliki banyak staf, ada kementerian, ya sebagai pembantu-pembantu presiden, menurut hemat saya cukup," kata Hasanuddin dalam podcast di Kantor Tribun Network, Palmerah, Jakarta, Selasa (16/7/2024).
Menurutnya, Presiden Terpilih Prabowo Subianto juga mampu bekerja tanpa DPA.
Baca juga: Perubahan Wantimpres Jadi DPA Dinilai Bertentangan dengan Konstitusi dan Semangat Reformasi
Kehadiran DPA justru membuat pemerintahan tidak efektif dan efisien.
"Makin terlalu banyak yang menyarankan dan ikut cawe-cawe, makin membuat pusing ya karena terlalu banyak pilihan nanti," tambahnya.
TB Hasanuddin mengingat pesan Bung Hatta bahwa undang-undang, peraturan dan sebagainya yang paling menentukan adalah para penyelenggara negara ini.
"Jadi harus memiliki kesadaran yang baik, yang benar, untuk kepentingan rakyat, itu saja. Selama itu kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, kepentingan golongan, kepentingan lain, bukan atas dasar kepentingan rakyat, maka kita akan terus saja begitu," ujarnya.
Berikut wawancara Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dengan TB Hasanuddin:
Bisa cerita mengenai munculnya draft Revisi Undang-Undang Nomor 19 tahun 2006 tentang Wantimpres kemudian nomenklaturnya mau diubah jadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA)?
Jadi begini, yang pertama di dalam paripurna itu bukan mengesahkan. Tetapi masing-masing fraksi menyetujui bahwa revisi tentang Wantimpres menjadi DPR disetujui dan kemudian nanti dibahas oleh Badan Legislatif.
Nah, itu yang pertama kemudian saya baru hari itulah mendapatkan tugas untuk masuk menjadi anggota Baleg. Saya tanya kepada teman-teman, itu bagaimana ceritanya?
Baca juga: Projo Dukung Apapun Langkah Politik Jokowi, termasuk Jika Jadi DPA Prabowo
Ini hasil Baleg dan kemudian dapat arahan ya ujung-ujungnya sebetulnya dari pemerintah. Yang kemudian, ya sudah supaya cepat nanti atas inisiatif DPR. Jadi bahannya dari pemerintah ya?
Kira-kira begitulah, kan biasa juga. Ada yang kemudian bahannya dari pemerintah, biar cepat prosedurnya dijadikan inisiatif DPR. Saya pernah mengalami juga banyak-banyak menyelesaikan masalah undang-undang itu diambil untuk singkatnya saja.
Hanya masalahnya kebetulan saya sekarang menjadi anggota Baleg, saya belum melihat draftnya.
Oh belum melihat draftnya? Baru denger-denger saja?
Kemudian saya sudah bertemu dengan banyak komunitas masyarakat sipil yang pada umumnya, semua menolak. Ya nanti kita akan diskusikan seperti apa dan sekarang ini, kami kan sedang reses.
Reses akan masuk pada tanggal 15 Agustus 2024. Dari 15 Agustus kemudian setelah itu, kan pada tanggal 16 Agustus kami akan mendengarkan pidato Bapak Presiden tentang RAPBN 2025. Dan tentu kami sibuk juga untuk berdiskusi soal anggaran ini.
Jadi waktunya akan tersita, saya sih berharap, oke kita selesaikan, tetapi mungkin periode nanti saja dengan anggota DPR yang baru. Insya Allah lebih fresh.
Daripada dipaksakan untuk periode ini ya?
Iya karena waktunya mepet. Bayangkan ada undang-undang soal revisi undang-undang TNI, revisi undang-undang polisi, revisi soal DPA, kemudian soal imigrasi, soal kementerian, dan lain sebagainya harus selesai menjadi borongan hanya dalam waktu kurang dari 2 bulan.
Tapi kan biasa begitu Pak TB, ketika masa-masa akhir pemerintah dalam ini konteksnya Presiden kepengin melakukan satu dorongan tertentu, dipaksain itu bisa saja?
Ya kalau pendapat saya begini, kebiasaan-kebiasaan yang jelek jangan diterusin lah, malu kita.
Pak TB, sebagai seorang politisi senior meskipun belum melihat draftnya, tapi yang sudah beredar menyebutkan bahwa ada keinginan menempatkan Wantimpres menjadi lembaga tinggi negara setingkat Presiden DPR dan lembaga tinggi negara lain. Gimana itu?
Saya sudah diskusikan, katanya draftnya itu saya belum lihat, tetapi di dalamnya yang sangat prinsip tetapi juga krusial, itu adalah sebagai lembaga tinggi, kemudian juga sejajar dengan Presiden.
Sebagai lembaga mungkin nggak ada masalah, karena banyak lembaga-lembaga lain dan posisinya tidak sejajar dengan Presiden, karena kalau sejajar dengan Presiden, Presiden sejajar dengan DPR, maka nanti lembaga ini yang baru, yang konon akan bernama DPA itu sejajar dengan Presiden dan sejajar dengan DPR.
Kalau ini padanannya, maka harus diatur bukan oleh Undang-Undang, tidak pas, harus diatur dengan Undang-Undang Dasar.
Kenapa itu?
Ya itu amanahnya begitu, dan DPA yang dulu sejajar dengan Presiden.
Sebelum UUD 1945 diamendemen ya?
Itu sekarang istilah DPA sudah tidak ada. Karena amanahnya dihilangkan, jadi kalau ada dihidupkan, ya tidak bisa. Saya bukan alih hukum, tetapi teori dasarnya begini, Undang-Undang Dasar tidak bisa dikoreksi dengan Undang-Undang.
Undang-Undang tidak bisa dikoreksi oleh Perpres dan Keppres. Ya itu hirarkinya seperti itu.
Jadi sebenarnya kalau menurut Pak TB, kalau memang mau, yang bisa melakukannya adalah MPR, betul kan? Lewat amandemen Undang-Undang 1945 dan prosedurnya rumitnya bukan main?
Dan bukan hanya itu, ada yang lain-lain yang memang kita, kebetulan saya menjadi Sekretaris Fraksi PD Perjuangan di MPR, kita sedang melakukan kajian-kajian beserta dengan puluhan-puluhan fakultas dan universitas untuk membicarakan soal amandemen selanjutnya.
Jadi jangan tergesa-gesa, ujug-ujug bangun pagi, mengubah Wantimpres menjadi DPA. Tidak usah kajian-kajian, diskusikan dengan publik dan sebagainya. Karena ini masalah prinsip, soal kesetaraan, soal lembaga tinggi.
Pak TB, sebagai seorang politisi senior, ini kok ujug-ujug ada beginian nih? Ngapain sih, Pak, kira-kira? Apa backgroundnya ini?
Pertanyaannya menarik, tapi salah. Harusnya tanyaan pemerintah, Pak. Hahaha. Saya pikir mungkin ada tujuan-tujuan tertentu. Dan saya kira kita harus melihat tujuan itu untuk apa.
Kalau itu bagus, ya oke, kita ikuti. Tetapi prosedur harus dilalui. Tujuan yang baik, ya oke lah. Kalau itu tujuan yang baik, mari kita kesepakatan bersama laksanakan. Tetapi prosedurnya yang benar. Kalau mau mengubah itu, ya harus lewat amendemen dan undang-undang dasar.
Jangan kemudian dibentuk saja dengan lewat undang-undang. Katakanlah misalnya ada usulan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat itu kembali lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Nah, oke, sudah banyak usulan-usulan.
Ya bagus juga, tetapi harus melalui prosedur yang benar. Amandemen itu tadi.. Tidak bisa, ya oke, bikin saja undang-undang. Tidak bisa. Ada aturan yang harus kita penuhi lah.
Pak TB orang kemudian menghubungkan revisi ini dengan ide The Presidential Club. Yaitu sebuah klub atau lembaga yang anggotanya terdiri dari mantan presiden, yang akan memberikan pendampingan kepada Presiden Republik Prabowo. Dan konon nanti kalau ini DPA ini lolos, anggotanya adalah para mantan presiden. Pak TP melihat ada korelasi nggak dengan ide itu?
Begini, kita kan sudah memilih sistem kita presidensial. Ya presiden memiliki banyak staf, ada kementerian, ya sebagai pembantu-pembantu presiden, menurut hemat saya cukup.
Lebih dari cukup ya?
Lebih dari cukup. Dan Pak Prabowo saya yakin mampu. Cukup lah begitu ya. Makin terlalu banyak yang menyarankan dan ikut cawe-cawe, makin membuat pusing nanti ya.
Justru itu tidak akan membantu membuat pusing ya?
Tidak akan efektif dan efisien. Malah tambah pusing nanti. Tambah pusing ya karena terlalu banyak pilihan nanti.
Pak TB, apapun bisa terjadi di negeri, wong syarat calon presiden saja bisa diubah. Kalau ini dipaksain untuk lolos lewat undang-undang gimana?
Menurut hemat saya kita harus punya banyak kesadaran ya. Saya selalu masih ingat pesan Bung Hatta, bahwa undang-undang, ada peraturan dan sebagainya, yang paling menentukan adalah para penyelenggara negara ini.
Jadi harus memiliki kesadaran yang baik, yang benar, untuk kepentingan rakyat, itu saja. Selama itu kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, kepentingan golongan, kepentingan lain, bukan atas dasar kepentingan rakyat, maka kita akan terus saja begitu.
Begitu ada kesempatan gulirkan ini untuk ini. Begitu ada kesempatan gulirkan ini untuk ini, dan sebagainya. Saya mohon, stop lah.
Mari kita kembalilah ke jati diri kita. Sudah banyak diberi contoh oleh para pendahului bangsa.
Kalau hanya PDI perjuangan yang menolak, yang lain kompak jebol ini, jadi ini barang?
Saya mau tanya, kapan sih di Indonesia, kita melaksanakan sila keempat, ya, Pancasila, musyawarah untuk mufakat, kapan? Saya tanya balik. Nggak pernah. Ujung-ujungnya, voting saja.
Begitu dilihat, kalau voting menang, oke, lanjutkan. Oh, kalau voting kalah, ya udah gabung. Ya begitu saja. Artinya, suasana pengambilan keputusan voting itu, itu selalu menghantui. Nah, saya masih ingat, para senior saya dulu, musyawarah itu kalau tidak cukup satu jam, satu hari.
Sampai musyawarah mufakat. Tidak pernah, dan kalian jangan kemudian melemahkan minoritas, atau merasa kalian itu mayoritas, sudah, masuk saja ke voting. Wah, begitu.
Tirani mayoritas namanya?
Iya, begitu. Tidak boleh. Jadi harus terus diskusi-diskusi. Kalau tidak cukup sehari, dua hari. Tidak cukup dua hari, tiga hari.
Seminggu, kalau perlu sebulan musyawarah. Sehingga semua hasil musyawarah itu menghasilkan sesuatu yang diterima oleh semua kelompok. Nah, itu harus mulai diajarkan oleh saya.
Jadi nanti, kalau ini akan dibahas di dalam Baleg, pasti Pak TB Hasanuddin akan menolak rencana ini ya? Kan gitu kan? Kalau saya ambil kesimpulannya, apa namanya partai menolak rencana untuk memaksakan revisi undang-undang?
Ya, saya belum berdiskusi dengan fraksi dulu.
Oh, belum?
Belum. Karena kan saya belum, baru dapat surat. Tetapi ide-ide saya, dan, ya, fatsun aturan. Saya akan sampaikan ini lho, yang sesungguhnya aturan kalau mau dipakai. Tapi kalau misalnya mau yang lain, ya saya mungkin nggak ikutan.
Jadi nanti kalau partai ikut menyetujui, Pak TB nggak ikut-ikutan lah, kira-kira gitu?
Dalam hati mungkin ya. Tapi kan kita harus berprinsip. Saya akan berbicara kepada siapapun, oke, apapun itu kebaikan, kita laksanakan sesuai prosedur.
Termasuk kepada partai nantinya ya, untuk menyampaikan pandangan Pak TB bahwa ini nggak bisa hanya lewat undang-undang. Karena prinsipnya, prinsip ketahanan negaraannya begitu kan?
Iya, begitu.
Nah, Pak TB kalau melihat situasi semacam ini di waktu kita yang pendek. Lebih baik dilakukan oleh DPR periode berikutnya yang punya waktu lebih panjang, dan lebih fresh. Apakah Wantimpres itu sendiri perlu nggak sih direvisi?
Nah, kalau pertanyaan itu, jauh-jauh hari, tidak ada urgensinya. Masih banyak merevisi pelaksanaan undang-undang. Lebih baik yang kita revisi mengapa kita membeli beras tidak dari petani tetapi malah impor beras dari Vietnam.
Jadi ini menurut Pak TB sebenarnya nggak ada urgensinya. Nggak terlalu penting?
Kalau ini tidak diubah pun negara tidak akan bubar jadi untuk siapa. Kecuali kalau ini tidak diganti menjadi DPA, kita akan stagna Republik ini. Enggak lah, jangan hanya untuk kepentingan satu, dua orang.
Tapi ini bukan karena Pak TB sekarang menggunakan modul oposisi, enggak ya?
Saya enggak pernah mengenal oposisi. Sistem kita, sistem presidensial, ya. Ya mungkin berbeda pendapat tapi dari dulu selalu saya bahwa mengkritisi, ya ini undang-undangnya begini.
Artinya bukan berarti yang mengkritisi itu oposisi, gitu?
Enggak lah, saya siapapun yang kurang pas ya, saya kritisi. Itu kewajiban konstitusi saya sebagai anggota DPR. (Tribun Network/Reynas Abdila)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.