Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Jamaah Islamiyah Benar-benar Bubar atau Hanya Berganti Kulit? Ini Penjelasan Lengkap Ustaz Abu Fatih

Benarkah Jamaah Islamiyah sudah benar-benar bubar atau pura-pura bubar, berganti kulit?

Editor: Dewi Agustina
zoom-in Jamaah Islamiyah Benar-benar Bubar atau Hanya Berganti Kulit? Ini Penjelasan Lengkap Ustaz Abu Fatih
Tribunnews/Sigit Ariyanto
Abu Fatih alias Abdullah Anshori, eks Ketua Mantiqiyah II Jamaah Islamiyah. 

TRIBUNNEWS.COM, SOLO - Jamaah Islamiyah (JI) sudah membubarkan diri 30 Juni 2024 lewat Deklarasi Sentul.

Namun benarkah Jamaah Islamiyah sudah benar-benar bubar atau pura-pura bubar, berganti kulit?

Ustaz Abu Fatih alias Abdullah Anshori menjelaskannya dalam wawancara eksklusif dengan Tribun Network.

Abu Fatih adalah saksi mata kepemimpinan Abdullah Sungkar sebagai Amir JI.

Baca juga: Menelusuri Perjalanan Berdirinya Organisasi Jamaah Islamiyah, Aktivitas hingga Bubar 30 Juni 2024

Dia adalah seorang sesepuh dan pernah memimpin Mantiqi II Jamaah Islamiyah.

Berikut petikan wawancara Abu Fatih dengan Tribunnews:

TRIBUN (T): Jamaah Islamiyah dalam Deklarasi Sentul 30 Juni 2024 menyatakan bubar atau membubarkan diri. Ini JI bubar beneran atau ganti kulit saja dan tetap di jalan perjuangan semula ustad?

Berita Rekomendasi

ABU FATIH (AF) : Yaaa..sebenarnya saya secara pribadi, itu sejak ustaz Abdullah Sungkar wafat dan posisinya sebagai Amir JI, saya merasa JI itu sudah tidak ada. Jadi JI itu istilahnya ada dan tiadanya sama.

Kalaupun kemudian muncul generasi penerus yang mencoba menjabarkan menjalankan kegiatan dengan nyerempet JI, itu anak-anak muda. Karena Para Wijayanto tatkala saya sudah berakhir (memimpin Mantiqi II) posisinya masih Sekretaris Wakalah Jateng. Sementara saya waktu itu membawahi 9 wakalah.

Jadi kembali ke soal bubarnya JI ini, kalau tidak salah tahun 2021, ada petugas dari Densus, datang ke rumah saya. Di antaranya Kombes Sodik, kemudian Pak AKBP Fino, Pak Wawan, dan temen-teman lain.

Yaa waktu itu mau mengambil saya. Saya sih pasrah saja. Apa yang diinginkan saya siap kalau harus mempertanggungjawaban secara hukum adanya sesuatu.

Lalu beliau-beliau hanya meminta surat pernyataan bahwa saya sudah keluar dari JI. Saya jelaskan waktu itu kalau saya sudah tidak aktif sejak Ustaz Abdullah Sungkar wafat.

Baca juga: Jamaah Islamiyah bubar, eks pemimpinnya janji tinggalkan jalan kekerasan - Apa motif di belakangnya dan benarkah JI memilih mengubah citra agar diterima masyarakat?

Kalaupun ada sedikit itu hanya proses aja. Kemudian saya tanya, kepada Pak Fino dan Pak Sodik, apa keluar dari JI artinya saya keluar dari Islam atau murtad. Kemudian dijawab tidak ada hubungan dengan keimanan dan keislaman seseorang.

Tetapi upaya mereka itu terkait dengan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bulan sekian tahun sekian yang menetapkan JI adalah organisasi terlarang.

Nah, karena jawaban tidak menyangkut keimanan, saya merasa itu sesuatu yang menarik. Selanjutnya kami banyak berdiskusi dengan Pak Fino dan Pak Wawan. Setelah itu, tatkala saya sudah membuat surat pernyataan, saya kira sudah tidak ada masalah. Saya diminta tidak ke mana-mana, tidak pergi jauh-jauh. Saya di rumah saja. Paling ke kebun, ke masjid.

Kemudian setelah diajak Mas Bambang (Ustaz Bambang Sukirno) diskusi-diskusi, saya merasa tidak cukup kalau kita hanya diam.

Kemudian Pak Arif (Ustaz Arif Siswanto), beliau bebas dan memaparkan yang intinya JI itu perlu dibubarkan.

Saya malah berpikir dan bicara waktu itu, Antum (Ustad Siswanto) bubarkan saja, lalu kita bikin organisasi apa yang kita bisa duduk-duduk bareng, ngaji bareng atau kenduri bareng…hehehehehe!

Lalu ternyata muncul masalah ketika ada orang K*r*m mendengar info ini, dan terjadi kesalahpahaman, seolah-olah saya hendak membuat organisasi JI baru. Sehingga terjadi kehebohan di dunia intelijen.

Baca juga: Beragam Respons Terkait Jamaah Islamiyah yang Membubarkan Diri

Tapi alhamdulillah kemudian bisa diredam dan dijelaskan segala sesuatunya. Bukan mau mendirikan JI baru, tapi organisasi terbuka yang menyelaraskan dengan perjalanan pemerintah dan tuntutan negara. Tapi waktu itu kan kita belum bicara lebih jauh, konsepnya saja belum disusun.

Kemudian muncul deklarasi Abu Rusydan yang menjelaskan begini-begini, yang poin 642 itu (semacam risalah pendapat pandangan Abu Rusydan).

Nah, saya lalu berpikir kalau begitu ini klir, dari situ saja kita sosialisasikan dan ternyata memang sudah ada perintah sosialisasi.

Saya mendampingi setiap sosialisasi, sebagai orang yang dipandang tua, senior, walau sudah tidak aktif. Saya mungkin masih dianggap tokoh yang memiliki ideoogis selaras.

Sejumlah tokoh berbicara mengenai kelompok Al Jamaah Al Islamiyah atau Jamaah Islamiyah atau JI yang bubar atau membubarkan diri serta memutuskan islah dengan aparat keamanan, pemerintah dan negara Republik Indonesia.
Sejumlah tokoh berbicara mengenai kelompok Al Jamaah Al Islamiyah atau Jamaah Islamiyah atau JI yang bubar atau membubarkan diri serta memutuskan islah dengan aparat keamanan, pemerintah dan negara Republik Indonesia. (Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga)

Maka saya perlu untuk menunjukkan kepada ikhwan-ikhwan yang membubarkan diri, bahwa itu sikap yang benar.

Karena tidak mempertimbangkan, misalnya takut hukum, takut Densus, tapi dengan kesadaran dengan bimbingan ilmu, ternyata ruang secara syarii dan dien, ternyata tidak ada manfaatnya kalau membangun konflik dengan pemerintah Indonesia.

Pemerintah Indonesia itu representasi kaum muslimin, dan bangsa yang rakyatnya Islam juga.

Jadi membubarkan diri itu artinya mengislahkan diri. Banyak kalimat dalam Quran, mengatakan kesepakatan tersembunyi itu tidak akan membawa kebaikan, kecuali perintah kebaikan, perintah sedekah, atau mengajak berislah.

Maka apa yang dilakukan di Sentul itu khususnya islah, mengishlahkan diri, dan betapapun sebagai bagian dari bangsa, kita mengislah diri.

Baik mengingat kesejarahan, peran ulama, pertimbangan revolusi dan proklamasi, perjalanan panjang kita rekonstruksi, akhirnya sudahlah, Bismillah, tawakal kepada Allah, kita terima apa yang dikatakan Ustad Abu Rusydan. Ini momentum yang sepertinya sama-sama dirindukan.

Sehingga tatkala kita sosialisasi mendampingi Ustaz Bambang dan Ustaz Arif Siswanto, sudah 15 kali, dan ternyata tidak ada yang menolak. Dulu ada yang lari-lari jauh (buron/DPO), setelah mendengar ini berbondong-bondong datang.

T : JI menyatakan diri bubar dan ini menerbitkan pertanyaan kalau begitu JI memang benar-benar ada selama ini. Sebab sebelumnya ada bantahan-bantahan organisasi ini tidak ada?

Jadi tahun 1993 akhir, itu saya bebas dari penjara Cipinang dalam kasus usroh yang kemudian mungkin agak nyerempet peristiwa Tanjungpriok.

Sekitar seminggu setelah bebas, ada teman yang datang ke rumah menyampaikan ustad (Abdullah Sungkar) mau telepon, dan silakan. Beliau telepon dan saya yang megang telepon berikutnya. Saya lalu komunikasi langsung dengan ustad Abddullah Sungkar.

Beliau intinya bilang, "yai, saya kangen sama antum. Tapi kondisi saya belum memungkinkan untuk pulang. Jadi tolonglah antum usaha untuk bisa mengunjungi saya di sini (Malaysia)." Saya jawab inshaalalah, saya usahakan. Saya usaha bikin paspor di Jaktim, tiga hari selesai.

Seminggu kemudian saya berangkat sendiri lewat Singapura, lalu naik kereta ke Malaysia. Ketemulah saya dengan ustad Abdullah Sungkar.

Pada waktu itu beliau menjelaskan, “yai, antum sudah denger bahwa saya melepas baiah (baiat) saya pada NII. Kemudian sejak bulan Januari 1993, saya mendirikan Al Jamaah Al Islamiyah. Kemudian keperluan saya panggil antum ke sini, itu saya mau minta tolong. Bantulah saya. Adik antum itu, maksudnya Abdurochim (adik Abu Fatih), dia seorang guru yang baik yang tulus ikhlas, tapi dia murni guru, pendidik. Yang saya perlukan itu yang bisa mengelola. Jadi satu, gantikan adikmu itu. (Abdurochim saat itu diserahi memimpin JI wilayah Indonesia. Nama aliasnya Nuaim alias Abu Irsyad)."

"Kedua, bantulah ana (Abdullah Sungkar) memiliki (membangun) pondok pesantren itu 100 jumlahnya.” Saya ketawa. Saya katakan, saya bukan ahli pondok ustaz. Beliau menukas, nanti saya jelaskan teknis-teknisnya. Satu lagi, kata Abdullah Sungkar, bantulah saya melanjutkan program yang dulu dirintis sama antum, maksudnya hal-hal terkait kaderisasi askari”.

Sebelum masuk penjara saya waktu itu sudah melaksanakan kaderisasi, pengiriman ke Afghanistan, seperti Abu Tholut, Abu Rusydan. Itu yang saya kirimkan sampai angka 59 orang, baru saya ditangkap (di Jakarta).

Saya diambil dan masuk Cipinang karena memimpin halaqoh-halaqoh. Waktu itu belum terdeteksi kalo saya melakukan pengiriman kader askari ke Afghanistan.

Akhirnya saya pulang, saya temui adik saya, pengurus dikumpulkan dan menjelaskan misi yang dibawa. Saya waktu itu intinya mengatakan, untuk pengelolaan yang dulu namanya majelis dahiliyah, diganti jadi majelis qiyadah mantiqiyah. Itu saya bilang sekarang pekerjaan kita untuk qiyadah mantiqiyah adalah konsolidasi ke dalam.

Artinya kita akan merumuskan konsep yang jelas. Kedua, kita harus membenahi persoalan pembinaan personal dari dakwah, tarbiyah, tandfid, rekrutmen, dan itu sudah harus terpikirkan detailnya. Kemudian pembinaan selanjutnya apakah diklat atau apa kita pikirkan matang.

Lalu persoalan tandzim, itu kan amanahnya tandzim siri (rahasia), artinya kita tak perlu open, kita jalankan apa yang bisa kita lakukan. Kira-kira itulah. Sebelumnya (tandzim askari) juga sudah dilakukan, oleh namanya Broto, dia NII.

Tapi kan Ustaz Abdullah Sungkar sudah melepas baiat atau pisah dengan NII. Akhirnya kan terbelah alumninya, ada yang ke NII ada yang ikut JI. Tak lama setelah itu Broto meninggal, dan karena saya sudah di luar, saya tidak ikut ngurus yang NII.

Saya mengurus di JI dan apa yang kita rintis muaskar ke Filipina, di Mindanao. Tapi tahap awal kita tidak memanfaatkan fasilitas itu. Kita tawarkan membantu tadrib mujahidin MILF dipimpinan Syekh Selamat Hasim. Waktu itu sampai tahun kedua, sudah meluluskan alumnus muaskar dan mujahidin sana sudah 1.500 sampai 2.000 muqotil atau petempur.

T : Saat pertama bertemu Ustaz Abdullah Sungkar, apa waktu itu dijelaskan detil organisasinya JI seperti apa, strukturnya dan lain-lain?

AF: Nggak, kan waktu itu ibaratnya masih embrio. Jadi yang di pusat ada 11 orang sebagai pencetus, saya bukan termasuk pencetus, tapi sebagai pelaksana di mantiqoh taniah mulai tahun kedua. Jadi baru masa itu ada yang terekrut ikhwan alumni pondok sekira 2.000. Dari dua ribu itulah modalnya yang kami olah dan kami sisir, mana jadi mualim, dai, murobi, mana yang tamqis atau penyeleksi.

T : Pengiriman ke Afghanistan apa masih berlangsung?

AF : Sudah tidak karena diputuskan kia tidak punya tempat. Tapi saya masih agak silap, waktu itu masih memelihara hubungan, masih menempatkan perwakilan tapi pengiriman sudah tidak.

T : Ada kontribusi peran keterlibatan mereka (mujahdin Afghanistan) ke kegiatan gerakan di Indonesia?

AF : Dalam perjalananya, saya lupa-lupa ingat apa 97 atau 98, saya memang dipanggil lagi oleh ustad Abdullah Sungkar ke Malaysia. Beliau memberitahu baru saja ziaroh menemui Syekh Usamah bin Ladin. Beliau mengatakan Syekh Usamah ingin bersama mujahidin Indonesia.

“Saya bersama anda, bersama harta dan jiwa kami. Kami punya 6.000 personil yang siap untuk bersama anda ke Indonesia. Ada senjata lengkap, pendanaan cukup, personal segitu jumlahnya.”( Abu Fatih mengutip kalimat Abdullah Sungkar).

Kan pada itu dalam perjalanannya telah mengembangkan jamaah, sudah ada 6.000an. Di Solo ini awalnya ada 1.000, tapi kita sudah punya binaan yang belum kita ambil baiatnya sekitar 10.000. Di Jatim, Jateng, Jakarta, Lampung berkembang, Kalau saya perkirakan ada 6.000 orang kader siap.

Kalau ada 6.000 dan ditambah 6.000 lagi dari Afghanistan, hadistnya mengatakan ini pasukan yang takkan terkalahkan. Sebenarnya sebelum pembicaraan itu sudah ada kiriman-kirman tapi tidak terbuka. Ada yang datang untuk alasan investasi.

Saya pernah diminta tolong mencari jika pabrik mesin, yang bisa diakuisisi. Itu pernah pada waktu itu. Belakangan saya baru tahu, Syekh Usamah itu sudah lama ingin masuk sini (Indonesia). Belakangan juga saya tahu bukan saya saja yang tahu. Hambali dan Muklhas mungkin tahu keinginan Syekh Usamah.

Mereka yang didatangkan untuk memeriksa keadaan ada dari Prancis, Spanyol, Saudi, Yaman, yang orientasinya masih tersembunyi. Ustad Abdullah Sungkar mengakhiri pertemuan dengan kalimat begini; “Semua tergantung antum (Ustad Anshori)”.

Saya jawab, ini perkara serius, beri kesempatan tiga bulan istiqarah, takbirul maidan atau orientasi teroritoral baik itu kewilayahan maupun demografis sampai pada persoalan spesial, utamanya pendaoat para ulama. Saya disilakan dan ustad (Abdullah Sungkar) menunggu jawabannya. Beliau menekankan saya harus menjawab karena ini serius.

Saya lalu pulang ke Sulawesi Selatan, istri saya memang orang Sulsel dan saya akrab dengan ulama-ulama Sulsel. Saya jumpai kalau tidak salah Kyai Sulaiman, Ustad Marzuki Hasan, Ayi Abdul Jaba Asiri, itu yang saya ingat. Tidak semua di Makassar, ada yang dekat Bulukumba sana.

Saya dekat karena dulu pernah diminta ulama di sana untuk membujuk orang-orang yang hendak melawan pemerintah sesudah peristiwa Tanjungpriok dan mereka lari naik ke gunung.

Saya diminta membujuk Agus Dwikarna dan kawan-kawan yang sudah dikepung RPKAD, agar dialog dengan mreka.

Saya naik motor bersama ustad Zaitun Rasmin (sekarang di MUI) sejauh 200 kilometer, guna membujuk mereka turun gunung.

Dialog dari jam 8 malam sampai 8 pagi, akhirnya kesepakatannya turun. Itu membuat hati orang-orang tua (ulama) di sana simpati ke saya.

Dari situ berkembang ke kasus kira-kira 97/98, bagaimana sekarang kalau kita jihad. Sekarang kita dapat investasi dari luar, kita bangun Daulah Islam di sini. Lalu mereka bilang, “nak, dulu kita pernah keliru, dengan NII kita pernah keliru. Apa kita mau mengulang kekeliruan itu lagi.

Beliau mengingatkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu didukung ulama, beribu-ribu istiqarah. Proklamasi juga terjadi di hari yang sangat tepat. Akan terjadi lagi hari yang sangat tepat seperti ini setelah 360 tahun ke depan. Itu kalimat-kalimat yang saya ingat.

T : Jadi kesimpulannya?
AF : Jadi ternyata tidak ada kesempatan, tidak memberi ruang. Lalu saya pulang ke Jawa. Ketemu teman, lupa namanya, tapi teman Mang Djaja (almarhum Kang Djaja NII Banten), dia membawa saya ke Pak Rais, ulama di Banten. Kemudian Pak Syukur, ulama juga. Ketemunya di Cikampek.

Habis itu saya diajak ke Tasik, maunya ke Ajengan Khoir, ketemunya sama Ajengan Yusuf kalo gak salah. Itu juga begitu, kalimatnya hampir sama. Dulu kita sudah pernah melakukan kehilafan, itu harus jadi pelajaran jangan sampai terulang.

Akhirnya saya kembali dan menjelaskan ke ustad Abdullah Sungkar, tidak ada ulama yang mendukung. Beliau tanya, antum yakin. Saya jawab, yakin ustad, bahkan kalimatnya jangan mengulang kesalahan yang lalu.

Kalau saya tanyanya ke ulama alim yang terjunnya ke bukan ulama lapangan, nantinya jatuhnya ke soal talak dan rujuk.

Akhirnya ya sudah, nanti saya sampaikan (ke Syekh Usama bin Ladin), kata beliau. Sejak kata disampaikan, saya merasa orang-orang yang dulu kliweran, dari Yaman dari Saudi dan lain-lain sudah ditarik kecuali satu yang tertangkap, Umar al Faruq (Umar al Faruq ditangkap intel BIN dan dideportasi ke tangan AS. Umar Faruq dikabarkan tewas di Irak).

T : Jadi penjajakan lapangan, diam-diam sudah ada (orang Usamah bin Ladin ) yang masuk?

AF : Iya, sudah penelitian dan kesimpulan mereka ternyata mereka menilai Indonesia itu medannya sangat eksotis untuk jihad. Di mana-mana untuk survival sangat memungkinkan. Ikan, tanaman, dan segalanya eksotis.

T: Respon Abdulah Sungkar?

AF : Saya melihat beliau biasa-biasa saja. Karena beliau selalu mengingatkan dirinya hanya seorang dai, dan mengaku tidak paham persoalan-persoalan jihad. Saya mengandalkan jihad itu antum-antum itu. Jadi tatkala sudah disampaikan, terkesan beliau biasa-biasa saja.

Cuma, itu kan ada semacam provokasi kepada ustad Abdullah Sungkar yang mengatakan Abu Farih itu orang yang tidak memiliki kapabiltas untuk urusan jihad. Sehingga didorong saya belajar jihad ke Filipina, terutama harus konsultasi sama Syekh Selamat Hasim.

T : Provokasi dari mana?

AF : Ya dari dalam, seperti dari Hambali, Muklas. Tapi kemudian setelah pulang, saya laporkan Syekh Salamat Hasim saja begitu sikapnya. Itulah saya menafsirkan sendiri, ustad Muklas dan Hambali itu geregetan. Wallahualam, itu tafsir saya sendiri ya.

T : Apa kemudian terjadi dengan JI karena rentetan pengeboman terjadi di Indonesia?

AF : Jadi begini, saya tidak bisa memungkiri ada keterlibatan anggota JI dalam peristiwa bombing itu. Tapi pertama, saya ndak bisa menjelaskan secara detil, karena terjadinya bombing itu saya sudah tidak aktif.

Kedua, menurut keyakinan saya itu tidak ada unsur disahkan oleh qiyadah (pimpinan) JI. Itu inisiatif, sebagaimana terbuka di pengadilan.

Cuma begini, di sisi lain kami merasa ibarat orang lahir dan kemudian tumbuh berkembang. JI masih sangat muda belia.

Dalam usia 10 tahun sudah dibebani overload. Sangat berat. Artinya kami tamqis personal untuk pemantapan, mengembangkan tandzim, masih sangat ringkih. Tiba-tiba terjadi krisis di Indonesia, moneter, ekonomi, kepemimpinan politik.

Sampai pada waktu itu saya termasuk yang diundang ke Jakarta (DDII) untuk menerima tamu dari Ambon, Brigjen Rustam Kastor. Seingat saya waktu itu mengenalkan sebagai Danrem Ambon.

Beliau menyampaikan pembantaian umat muslim sudah berlangsung satu tahun, kondisi seperti ini, pemerintah tak mampu menggerakkan alat negara karena tidak ada keuangan.
Maka kalau kaum muslim tak menggerakkan diri menolong saudaranya, ada dua kemungkinan, umat muslim timur habis dan RMS berdiri.

Karena dibentuklah laskar mujahidin dikirim ke sana. Ada orang-orang seperti Aep Saefudin, Jafar Umat Thalib, dan lain-lainnya.

Laskar Mujahid dikirim untuk memenuhi permintaan Rustam Kastor. Kemudian kami berpikir jauh, bagaimana mendampingi umat muslim di sana, mendampingi korban kekerasan, pemenuhan kebutuhan. Kami pernah bawa kurma sampai empat kontainer. Kami berpikir kirim ke sana.

Baru empat bulan, Pak Wiranto (Panglima TNI waktu itu) mendeklarasikan darurat sipil. Semua pendatang harus pulang. Kami putuskan pulang. Tapi kami tidak menutup mata ada di antara teman-teman itu tidak mau karena merasa belum ada gerakan apapun untuk bisa melindungi kaum muslimin. Tentu saja kami qiyadah tidak bisa memaksa.

T : Pengiriman mujahidin JI ke Ambon ini secara organisasi adalah perintah. Lalu bagaiman dengan aksi bombing itu, yang realitasnya pelakunya kemudian diketahui kader JI? Benarkah hanya inisiatif pribadi?

TF : Kira-kira begitu. Satu contoh begini. Suatu saat saya pergi ke Jakarta naik bus, sampai subuh. Saya langsung ke kantor yayasan, hari itu bersepakat dengan qoid wakalah Jakarta untuk menerima waqaf 6 hektare di Cianjur.

Saya datang dalam rangka itu. Tiba-tiba rumah itu dikepung tentara dan polisi. Yang nemui saya Pak RT. Dia tanya saya dari mana, kok pagi-pagi sekalai sudah sampai sini. Saya bilang saya datang ke sini untuk terima waqaf tanah di Cianjur.

Tatkala saya ke belakang, sama office boy kantor, dibisiki, ada yang terluka. Melakukan pengeboman (bom Atrium Senen). Saya tanya sudah dilapor Pak RT? Orangnya tadi lari ke sini. Siapa? Temen-temen dari Kramat Raya, namanya Sholahudin. Nah, itu saya terkejut, tidak tahu apa-apa. Lalu saya cari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

T : Setelah JI membubarkan diri, lantas apa Langkah berikutnya? Ke mana orang-orang eks JI nantinya?

AF : Kalau kami prinsipnya begini, kita berjamaah itu niatnya ibadah. Dalam ibadah ada batasan-batasannya, ada yang sudah kita sadari. Kalaupun seperti jihad itu kita kuat, kemungkinan terjadinya kezalinan tetap ada, apalagi kalau kita lemah.

Karena itu setelah membubarkan diri, kita berpikirnya melakukan pendampingan. Apakah dengan ormas atau organisasi baru, atau jamaah baru, sekarang ini belum mau berpikir ke sana.

Tapi pertama, melakukan pendampingan mengantisipasi kemungkinan yang terjadi seperti splinter (pembelot/penyimpang), itu yang kita antisipasi. Itu merugikan semua pihak. Percuma declare tapi ada splinter begitu.

Maka saya usulkan sosialisasi percepat. Yang saya kahwatirkan ini yang belum mendapat sentuhan sosialisasi. Pengalaman kita saat ini, sosialisasis cepat dan begitu banyak yang kemudian qobul islah, terbuka.

Kita berharap teman-teman menyadari hal itu. Apalagi setback dengan sejarah masa lalu, dan kita melihat ke depan. Saya kira islah ini akan baik bagi kami Bersama khususnya, dan juga bangsa Indonesia. (Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas