Kisah Wakil Komandan Kapal Perang TNI AL Rawat Ratusan Anak Buah Tumbang Dihantam Ombak Laut Arafuru
Ganasnya ombak di Laut Arafuru pada 2020 lalu mampu membuat kapal perang TNI Angkatan Laut bergoyang dan ratusan prajurit di dalamya tumbang.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, MALUKU TENGGARA - Ganasnya ombak di Laut Arafuru pada 2020 lalu mampu membuat kapal perang TNI Angkatan Laut sepanjang 122 meter dan tinggi 56 meter dengan bobot sekira tujuh ribu ton bergoyang 60 derajat.
Dapur tidak dapat digunakan dan seluruh peralatan makan pecah.
Dari 180 kru, hanya dua orang yang masih mampu berdiri.
Sisanya, tumbang terkulai lemah karena mabuk laut hebat dan tak bisa makan.
Bahkan, sebagian di antara mereka mengalami tukak lambung atau maag.
Begitulah penuturan Komandan KRI Teluk Weda - 526 Letkol Laut (P) Ricky Tacoma yang saat itu masih menjabat sebagai Wakil Komandan KRI Banda Aceh-593 ketika menceritakan pengalaman paling berkesannya selama menjadi pelaut TNI AL.
Baca juga: Profil Nurlaili Kusumah: Menangis Histeris usai Electric PLN Gagal Juara, Berstatus Anggota TNI AL
Ia mengaku saat itu dirinya juga mabuk laut dan sempat muntah.
Akan tetapi kondisinya relatif lebih baik dibandingkan dengan ratusan anak buahnya tersebut.
Untuk itu, ia mendatangi satu per satu anak buahnya itu dan memaksa mereka untuk makan mi instan yang belum dimasak karena dapur tak bisa digunakan.
"Jadi saya melihat sendiri wah ini anak buah saya sudah tidak bisa bangkit. Sehingga saya berikan mereka mi instan. Saya kremusin mereka, ayo makan makan," kata Ricky saat pelayaran Ekspedisi Kebangsaan Maluku Tenggara dari Ambon Maluku menuju Pulau Kei Besar Maluku Tenggara pada Selasa (23/7/2024).
Baca juga: Pendaftaran Bintara dan Tamtama PK TNI AL Gelombang 2 2024 Dibuka, Ini Syarat dan Cara Daftarnya
Ia mengatakan dalam kondisi cuaca buruk seperti di bulan-bulan saat ini, cuaca harus menjadi perhatian.
Di samping itu, meskipun mabuk laut namun perut tetap harus diberi asupan makanan.
Kondisi kesehatan, kata dia, harus tetap dijaga saat bertugas di laut dengan kondisi ombak dan cuaca yang tak menentu.
"Semakin tidak diisi perut akan semakin sakit. Bisa sakit maag, atau harus diinfus karena kekurangan cairan, dehidrasi, dan sakit maagnya kumat semuanya. Ada yang sampai dirawat tiga hari karena tidak bisa makan. Itu saya datangi satu-satu 180 orang itu," kata dia.
"Saya sampaikan di sini wakil komandan, kalian harus segera makan. Tidak bisa masak didapur, jadi semuanya berantakan. Jadi memang Laut Arafuru luar biasa. Lebih dari pelayaran hari ini," sambung dia.
Sejak lulus dari Akademi Angkatan Laut (AAL) pada 2002 hingga saat ini, Ricky setidaknya telah mengawaki kapal TNI AL mulai dari yang berukuran 30 meter sampai 120 meter.
Selama itu, ia telah mengawaki 12 kapal.
Dari 12 kapal itu, ia telah menjabat sebagai wakil komandan kapal sebanyak empat kali dan sebagai komandan kapal dua kali.
"Dan laut yang paling mantap ya Laut Arafuru, Laut Banda ini. Karena kan langsung laut lepas. Jadi dengan Samudera Hindia ini luar biasa lautnya," kata dia.
"Dengan ukuran kapal, dan dengan istilahnya Sea State 1 sampai dengan 4 bagaimana ombaknya, sama seperti kemarin (pelayaran Surabaya ke Ambon) sea state 3 ombaknya 3,5 meter, kapal sebesar ini pun goyang. Saya berpikir kita hanya bisa pasrah kepada Allah karena memang sekuat-kuatnya kita, sehebat-hebatnya kita, begitu kena alam tidak bisa dilawan," sambung dia.
Namun, di waktu-waktu kritis yang lain, ia pernah dirawat oleh anak buahnya saat malarianya kambuh ketika tengah bertugas sebagai KRI Teluk Weda-526 dalam pelayaran di perairan Jayapura.
Saat itu, kata dia, suhu badannya mencapai 39,8 derajat celcius.
"Saya sudah hampir sekarat dan dirawat oleh anak buah saya. Tidak ada komunikasi dengan keluarga, pimpinan, sehingga anak buah yang menjaga saya. Memberikan tensi, memberikan obat-obatan selama tiga hari saya melewati masa kritis," ungkapnya.
Dalam kondisi malaria, tiba-tiba komando atas memerintahkannya untuk segera kembali ke markasnya di Sorong.
Ia pun mengiyakan perintah pimpinannya tersebut.
"Tapi sampai di Sorong ternyata masa inkubasi itu sudah lewat. Jadi saya selamat karena ABK saya. Saya berpikir kalau tidak ada perawatan, saat itu saya pasti lewat (meninggal) karena sangat rawan sekali," kata dia.
"Dan itu yang saya merasa betul-betul termotivasi bahwa saya tidak bisa hidup tanpa anak buah saya, saya bisa hidup bersama dengan anak buah saya di sini," ungkapnya.
Bagi Ricky, sebagai perwira pelaut TNI AL, dirinya bukanlah seorang yang hebat sebagai individu.
Hal itu karena, kata Ricky, dirinya tidak bisa melakukan tugas-tugas lainnya di kapal perang sendirian meskipun ia telah bersekolah di Australia, Amerika, hingga dua kali di Prancis dan mengunjungi belasan negara.
"Di sini (saya) bukan seorang Superman, bukan seorang Super Ricky, tapi bisa (memiliki) Super Team. Jadi saya tidak mungkin bisa bekerja sendiri, membawa kapal, memasak, mengendalikan persenjataan, navigasi, komunikasi sendiri," kata dia.
"Jadi saya di sini memiliki tim yang hebat agar bisa membawa kapal ini dengan selamat dan kru semuanya sehat," sambung dia.
Untuk itu, sebagai komandan kapal dirinya memilih untuk mengayomi anak buahnya yang terdiri dari berbagai macam suku hingga rentang usia itu sebagai seorang saudara, kakak, atau bapak.
Menurut Ricky, dengan sendirinya anak buahnya akan hormat dan menjaganya apabila sebagai pimpinan ia mampu merangkul anak mereka.
"Jadi saya berikan (semangat) ke mereka jangan putus asa. Kalau kalian ada apa-apa, kalian punya saya. Kalau saya bisa merangkul kalian, kalian juga harus bisa memberikan yang terbaik. Jadi bukan kalian bertugas saja, terus semena-mena. Jadi saya sampaikan," kata dia.
Sebagai seorang manusia biasa, Ricky pun terkadang dilanda rindu dengan anak istrinya yang berada di Jakarta atau kesedihan karena sesuatu hal.
Namun, ia mengaku tidak pernah ingin menampakan itu di depan anak buahnya.
"Kalau saya sampaikan ke mereka saya sedang bersedih bahwasanya saya jauh dari keluarga, ini tidak bisa mereka melihat 'tuh komandan saja sedih'. Jadi akan membawa efek atau dampak kepada hasil pekerjaannya," kata Ricky.
"Di sini saya berusaha mengayomi, ada saya. Ayo kita bersama. Kita tampilkan di sini (di sebuah papan pada koridor bintara), keluargaku penyemangatku," kata Ricky menunjuk sebuah papan berukuran sekira 3 X 1 meter berisi foto-foto para krunya bersama keluarga masing-masing.
Ia mengingatkan kepada anak buahnya bahwa keluarga mereka adalah motivator mereka.
Bagaimana, kata dia, mereka tidak bisa lepas dari orang tua, istri, dan anak mereka.
"Mereka adalah pemberi semangat kalian. Meskipun kalian kalian jauh, kalau kalian ada rasa sedih, putus asa, kalian lihat mereka bangga sekali dengan kalian," kata dia.
"Memang dukanya jauh dari keluarga bertugas di Papua ini. Minim kita, paling cepat tiga bulan kita bisa dapat cuti ataupun pada saat kapal tidak operasi. Tapi kalau kapal saat operasi, mereka harus berada di kapal untuk melaksanakan tugas operasi dari pimpinan," ungkap dia.