Megawati Kritik Hukum di Indonesia, Pengamat: Wajar, Ada Kemunduran
Ia menyoroti kritik Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri terkait praktik hukum di Indonesia.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M Jamiluddin Ritonga, menyoroti kritik Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri terkait praktik hukum di Indonesia.
Jamil menilai, pernyataan keras Megawati Soekarnoputri jelas ditujukan kepada Joko Widodo sebagai Presiden. Sebab, Megawati mengaitkannya dengan masa kekuasaan itu ada akhirnya.
Menurutnya, Megawati menunjukkan kekecewaannya atas praktik hukum di Indonesia. Mega terkesan menilai, hukum kapan saja dapat diubah sesuai keinginan penguasa.
"Penguasa tidak lagi taat asas mengikuti kehendak hukum. Saat ini justru sebaliknya, hukum dikondisikan untuk taat dengan kehendak penguasa," kata Jamil, saat dihubungi Tribunnews.com, pada Rabu (31/7/2024).
"Karena itu, wajar kalau Megawati protes penggunaan slogan Indonesia Maju. Sebab, praktik hukum dan demokrasi misalnya bukan menunjukkan kemajuan tapi justru kemunduran," tambahnya.
Tak hanya itu, Jamil juga menyoroti kekecewaan Megawati di bidang hukum juga ditunjukkannya dalam kasus yang melibatkan Sekjen PDI Perjuanhan Hasto Kristiyanto.
"Bagi Megawati, kasus sekjennya itu terkesan orderan dari penguasa," jelasnya.
Oleh karena itu, Jamil mengatakan, terlepas benar tidaknya Hasto dincar karena orderan penguasa, keinginannya akan menemui Kapolri sebagai bentuk amarahnya terhadap praktik hukum di tanah air.
"Jadi, Megawati tampaknya merasa mendapat tekanan. Tekanan itu tidak ditujukan langsung kepadanya, tapi melalui orang-orang kepercayaannya. Salah satu Hasto yang saat ini dibenturkan dengan beberapa kasus hukum," jelas Jamil.
Lebih lanjut, katanya, amarah Megawati itu diharapkan tidak memancing para kader PDIP pada tindakan anarkis.
"Harapannya, meskipun Megawati merasa mendapat tekanan, namun tetap menyelesaikannya melalui jalur hukum. Hal itu sudah dilakukannya saat mendapat tekanan berat rezim Orde Baru," kata Jamil.
Sebelumnya, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto sedang jadi sorotan. Sejak Juni hingga kini, Hasto bolak-balik diperiksa aparat penegak hukum.
4 Juni lalu, Hasto diperiksa di Polda Metro Jaya atas laporan dugaan penyebaran berita hoax dan melanggar UU ITE saat di wawancara di stasiun televisi. Saat itu Hasto mengungkap permasalahan Pemilu hingga penyelewengan kekuasaan oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Pelapornya adalah Hendra dan Bayu Setiawan.
Selang enam hari kemudian, pada 10 Juni 2024, Hasto juga dipanggil KPK sebagai saksi dalam kasus buronnya politisi PDIP Harun Masiku. Hasto dianggap mengetahui keberadaan Harun Masiku yang telah menghilang sejak 17 Januari 2020.
Hasto meradang lantaran HP, buku catatan dan ATM nya yang dititipkan ke stafnya bernama Kusnadi, disita KPK.
Belum tuntas urusan dengan Harun Masiku, Hasto dipanggil lagi KPK untuk diperiksa dalam kasus dugaan korupsi dugaan suap pembangunan dan pemeliharaan jalur kereta di Ditjen Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan. Pekan lalu Hasto mangkir. Dan kini sedang diagendakan untuk diperiksa KPK.
Bolak-baliknya Hasto berurusan dengan KPK dan polisi, membuat Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri meradang. 4 Juli 2024 lalu, Megawati mengkritik keras KPK yang memeriksa dan menyita barang milik Hasto. Bahkan, Megawati meminta penyidik KPK bernama AKBP Rossa Purbo Bekti untuk menghadap ke dirinya.
Emosi Megawati belum berhenti. Kemarin (30/7/2024), saat menjadi pembicara dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Partai Perindo, Megawati kembali memuntahkan kekecewaannya terhadap penegakan hukum dan mengkritik pemerintahan Jokowi.
Megawati secara lantang menyebut penegakan hukum seperti senam Poco-poco, yakni maju dan mundur. Megawati juga meminta Hasto tak gentar hadapi upaya hukum di Polisi dan KPK. Megawati menyatakan akan menemui Kapolri kalau Hasto ditangkap atau ditahan.
Lebih keras lagi, Megawati menyoroti Pemilu 2024 yang menurutnya terjadi pelanggaran secara struktur, sistematis dan terencana.
Kritik Megawati ini sebenarnya tak hanya diarahkan ke Polri dan KPK. Jari telunjuk Megawati, sepertinya sedang diarahkan ke Presiden Jokowi. Kita semua tahu bahwa KPK independen dan bukan berada di bawah Presiden. Sedangkan Polri adalah bagian dari pemerintahan yang juga bertanggung jawab kepada Presiden.
Namun jari telunjuk Megawati terasa tegas menunjuk Jokowi. Hubungan keduanya sebelum Pemilu 2024 hingga kini melebar jauh. Dimulai saat Jokowi mengizinkan Gibran berpasangan dengan Prabowo Subianto untuk berkontestasi di Pilpres 2024.
Jagoan PDIP yakni Ganjar Pranowo-Mahfud MD kalah telah dan hanya memperoleh 16,8 persen suara. Suara PDIP juga anjlok tajam.