Analisis soal Mundurnya Airlangga dari Ketum Golkar: Demi Jokowi-Gibran hingga Tekanan dari Luar
Beberapa pengamat menganggap ada penyebab di luar internal Partai Golkar sehingga Airlangga mundur menjadi ketua umum. Ini penjelasannya.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Nuryanti
TRIBUNNEWS.COM - Mundurnya Airlangga Hartarto dari Ketua Umum Partai Golkar memunculkan beragam spekulasi terkait penyebabnya.
Dalam pidatonya pada Minggu (11/8/2024), Airlangga beralasan mundur dari Ketua Umum Golkar demi stabilitas transisi pemerintahan dan kesolidan partai.
Namun, ada beberapa pengamat yang menilai alasan mundurnya Airlangga tidak sebatas itu.
Menurut mereka ada alasan lain yang membuat Menko Perekonomian itu sampai harus mundur meski Musyawarah Nasional (Munas) tinggal empat bulan lagi atau digelar pada Desember 2024.
Beberapa pengamat menilai ada alasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan anaknya, Gibran Rakabuming Raka sehingga Airlangga sampai mundur.
Di sisi lain, adapula anggapan bahwa ada tekanan dari internal dan eksternal Golkar agar Munas dipercepat.
Demi Mudahkan Jokowi atau Gibran Jadi Ketum Golkar
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin menganggap mundurnya Airlangga demi memuluskan langkah Jokowi ataupun Gibran untuk salah satu dari mereka menjadi Ketua Umum Golkar.
Baca juga: Jusuf Kalla Yakin Airlangga Mundur sebagai Ketum Golkar karena Tekanan Kuat dari Luar Partai
Ujang mengatakan langkah apapun akan ditempuh trah Jokowi untuk memuluskan langkahnya menjadi orang nomor satu di Golkar meski harus menabrak AD/ART dari partai berlambang beringin tersebut.
"Ya bisa jadi kalau Airlangga mundur, bisa jadi kalau nggak Jokowi atau Gibran (menjadi Ketua Umum Golkar)," katanya kepada Tribunnews.com, Minggu (11/8/2024).
"Jadi saya melihatnya bahwa tidak mungkin Airlangga mundur kalau tidak ada tekanan. Bisa jadi tekanan itu agar Airlangga mundur untuk memberi ruang gerak si Gibran atau Jokowi untuk menjadi Ketua Umum Golkar meskipun dengan menabrak aturan apapun," sambung Ujang.
Di sisi lain, Ujang menilai mundurnya Airlangga tidak memengaruhi internal Partai Golkar.
Menurutnya, Partai Golkar sudah berpengalaman sejak lama dalam menghadapi permasalahan politik dan hukum apapun sejak era kepemimpinan Akbar Tandjung hingga Setyo Novanto.
"Golkar ketika dihajar kasus korupsi Alquran 2014, biasa-biasa saja, masih partai besar. 2019 dihajar kasus korupsi ketua umumnya dan sekjennya juga biasa-biasa saja."
"Kalau 2024, Golkar suaranya signifikan naik. Jadi dengan konteks Golkar gonjang-ganjing pun sudah biasa di dalam Partai Golkar," kata Ujang.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.