Pemikir Kebinekaan Sukidi: Penyelenggara Negara Telah Mempertontonkan Karakter Buruk
Sukidi mengatakan Indonesia kini sedang membutuhkan pendidikan karakter, karena negara ini yang telah bergerak jauh tanpa panduan budi pekerti luhur.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Cendikiawan sekaligus Pemikir Kebinekaan Sukidi mengatakan Indonesia kini sedang membutuhkan pendidikan karakter, karena negara ini yang telah bergerak jauh tanpa panduan budi pekerti luhur.
Hal ini disampaikannya ketika berbicara dalam Panel Kedua Kongres Pancasila XII bertajuk “Refleksi Moral Aktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara,” yang dihelat Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kamis (26/9/2024).
Menurut Sukidi, pendidikan karakter penting karena menjadi penentu kualitas manusia Indonesia yang berwatak mulia, berkepribadian luhur, dan cinta pada kebenaran. Inilah yang menjadi bekal untuk memajukan republik di masa depan.
"Perihal pentingnya karakter ini, dua pendiri bangsa, Soekarno-Hatta, telah mengingatkan kita masing-masing melalui ungkapan “nation and character building” dan “pangkal segala pendidikan karater adalah cinta kebenaran," katanya.
"Fondasi yang ditanamkan dua pendiri bangsa itu penting menjadi pedoman bersama guna menghalau karakter buruk dan licik yang dipertontonkan secara brutal oleh para penyelenggara negara yang berpotensi menghancurkan republik karena hilangnya keutamaan publik (public virtue)," tambah Sukidi.
Alumnus Universitas Harvard, Amerika Serikat, itu meyakini kemiskinan dan ketimpangan sosial dapat diatasi oleh pendidikan yang diselenggarakan secara sungguh-sungguh.
Baginya, kemiskinan terjadi bukan semata-mata disebabkan oleh pendapatan yang amat rendah, melainkan karena kurangnya kebebasan manusia (lack of human freedom), sebagaimana diungkap peraih Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen.
Dengan kebebasan, seseorang diyakini mampu mengembangkan kapabilitas dan memaksimalkan peluang sosialnya untuk keluar dari kemiskinan sehingga memperoleh kemajuan.
Pendidikan karakter, tegas Sukidi, mampu menuntun republik untuk dikelola dengan spirit meritokrasi, yang memberikan ruang kepada setiap individu dengan kemampuan dan kecakapan intelektual untuk memperoleh kesuksesan.
Kisah negara maju adalah kisah meritokrasi. Mustahil sebuah bangsa maju jika ditempuh dengan nepotisme,” ujarnya.
Ironisnya, dalam Republik ini kini tumbuh spirit kakistokrasi, dengan tampilnya para penyelenggara negara yang tidak kompeten dan buruk secara moral.
Bagi Sukidi, spirit meritokrasi penting untuk ditegakkan sebagai prinsip dasar karena mampu memberikan jaminan kesetaraan bagi semua warga negara berdasarkan kemampuan.
Sukidi juga menegaskan pentingnya menumbuhkan pendidikan karakter yang menyuguhkan keteladanan, empati, simpati, dan spirit menghargai sesama, yang mesti dimulai dari keluarga.
Satu prinsip lain yang diyakini mampu menegakkan kembali Indonesia, bagi Sukidi, ialah prinsip melihat setiap individu sebagai setara (equal human being).
Dengan prinsip ini, seseorang tidak boleh dibeda-bedakan berdasarkan status sosialnya, melainkan ditentukan oleh kualitas karakternya.
Sebab, “Kita dilahirkan secara setara, menjadi warga negara yang sama dan setara, dan berhak diperlakukan secara adil dan setara,” tandasnya. Inilah harapan anak-anak bangsa untuk menggapai kehidupan mulia dan kesuksesan di masa depan.
Diskusi Panel Kedua Kongres Pancasila dihadiri Pemikir Kebinekaan, Sukidi, guru besar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia, Mohammad Mahfud MD, dan guru besar bidang sosiologi Universtitas Muhammad Yogyakarta, Zuly Qodir. Diskusi dipandu oleh dosen Universitas Gadjah Mada, Sartika Intaning Pradhani.