Kementerian PPPA: Sunat Perempuan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Titi Eko mengatakan sunat perempuan secara internasional telah dinyatakan sebagai pelanggaran HAM atas kesehatan dan integritas perempuan.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilaksanakan 2021 menyebutkan 55 persen anak perempuan di Indonesia menjalani sunat perempuan atau P2GP (Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan).
Berdasarkan data UNICEF tahun 2015, Indonesia masuk dalam tiga besar negara yang penduduknya masih menjalani praktek sunat perempuan.
Baca juga: BPIP Diduga Sunat Aturan tentang Paskibraka Berjilbab Lewat Penerbitan SK Kepala BPIP Tahun 2024
"Berdasarkan data UNICEF, 200 juta anak perempuan di 30 negara melakukan P2GP atau sunat perempuan. Indonesia masuk dalam kategori tiga besar negara yang mempraktekkannya," ujar Plt. Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Titi Eko Rahayu, melalui keterangan tertulis, Jumat (27/9/2024).
Titi Eko mengatakan sunat perempuan secara internasional telah dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia atas kesehatan dan integritas perempuan.
Baca juga: Dari Sisi Medis, Kapan Usia Terbaik Anak Laki-laki Sunat? Begini Kata Dokter Spesialis Bedah
"Sunat perempuan secara internasional telah dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia atas kesehatan dan integritas perempuan. Sunat perempuan termasuk tindak kekerasan karena berdampak negatif pada kesehatan perempuan dan dapat mengakibatkan korban meninggal dunia,” ungkap Titi Eko.
Dirinya mengatakan praktek yang membahayakan ini masih dilaksanakan secara turun temurun di masyarakat.
Titi Eko memaparkan, banyaknya praktek sunat perempuan di Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh faktor pemahaman atau tafsir agama dan budaya dimana perempuan itu tinggal.
Adapun tiga alasan terbanyak yang diungkapkan oleh perempuan dalam melaksanakan sunat perempuan pada SPHPN tahun 2021 diantaranya mengikuti perintah agama sebanyak 68,1 persen, karena sebagian besar masyarakat di lingkungannya melakukannya sebanyak 40,3 persen, dan alasan kesehatan seperti dianggap lebih menyuburkan sebanyak 40,3 persen.
“Pemotongan dan pelukaan yang membahayakan genitalia perempuan di Indonesia pada umumnya dilakukan sejak kecil. Perempuan tidak menyadari dampaknya hingga saat mereka tumbuh dewasa," kata Titi Eko.
"Berbeda dengan khitan laki-laki yang memiliki standar prosedur khitan, praktek sunat perempuan sama sekali tidak memiliki standar prosedur pelaksanaan,” tambah Titi Eko.
Baca juga: Pemuda Dihajar Warga usai Cabuli 5 Bocah Sekaligus di Lingkungan Masjid: Kamu Sudah Sunat Belum?
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah memiliki Rencana Aksi Nasional Pencegahan Praktik Sunat Perempuan atau P2GP (Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan) 2020-2030 yang ditetapkan pada tahun 2019.