Kejagung Dinilai Salah Tersangkakan Tom Lembong karena Dianggap Langgar Kepmenperindag Tahun 2004
Kejagung dinilai salah jika menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka impor gula karena dianggap melanggar Kemenperindag yang terbit tahun 2004.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Whiesa Daniswara
TRIBUNNEWS.COM - Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menilai Kejaksaan Agung (Kejagung) salah ketika menetapkan mantan Menteri Perdagangan (Mendag) 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong sebagai tersangka korupsi impor gula lantaran dianggap melanggar Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Kepmenperindag) Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula.
Budiawan mengatakan bahwa berdasarkan Kepmenperindag tersebut, Tom Lembong selaku Mendag saat itu tidak perlu melakukan rapat koordinasi (rakor) terkait impor gula.
Dia menuturkan hal tersebut lantaran pada saat Kepmenperindag diterbitkan pada tahun 2004, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) bukanlah kementerian terpisah.
"Kalau kita baca dasar hukum yang digunakan oleh Kejaksaan Agung yaitu Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Tahun 2004. Di dalam dia punya peraturan itu tidak ada karena (Kementerian) Perindustrian dan Perdagangan jadi satu saat itu."
"Jadi, tidak mungkin ada koordinasi dari siapa lagi, gitu kan," katanya dalam siniar yang ditayangkan di YouTube Diskursus Net seperti dikutip pada Jumat (1/11/2024).
Budiawan juga mengungkapkan dalam Kemenperindag Nomor 527 Tahun 2004 itu, tidak ada aturan bahwa hanya perusahaan BUMN saja yang boleh mengimpor gula.
"Yang ada adalah importir produsen gula (dan) importir terdaftar gula atau IPG dan ITG," jelasnya.
"Yang kemudian diganti dengan API-P dan API-U atau Angka Pengenal Impor Produsen dan Angka Pengenal Impor Umum," sambung Budiawan.
Lalu, Budiawan berbicara terkait momen saat Tom Lembong menjadi Mendag era Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang baru dilantik pada 12 Agustus 2015.
Ketika dikaitkan dengan kasus ini, dia menilai adanya pemaksaan ketika Kejagung menetapkan Tom Lembong menjadi tersangka korupsi impor gula lewat Kemenperindag yang diterbitkan tahun 2004.
Pasalnya, Tom Lembong memutuskan untuk membuka keran impor gula lewat Kemenperindag Tahun 2004 tersebut.
Baca juga: Surya Paloh Yakin Tak Ada Politisasi pada Kasus Tom Lembong: Kalau Ada Ya Apes Saja
Budiawan mengatakan Tom Lembong baru mengubah Kemenperindag tersebut pada 23 Desember 2015 lewat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 117/M-Dag/PER/12/2015.
Dengan terbitnya aturan tersebut, maka Kemenperindag Tahun 2004 otomatis dicabut.
Adapun salah satu aturan yang berubah dalam Permendag yang diterbitkan Tom Lembong adalah keputusan impor gula harus terlebih dahulu melalui rapat koordinasi (rakor) dengan lembaga terkait.
"Kalau kita lihat disangkakan mengapa yang (impor gula) tahun 2015 karena kalau kita lihat 2016 semuanya, sudah ada koordinasi dan juga melalui rekomendasi."
"Nah, ini (keputusan impor gula oleh Tom Lembong) yang dianggap tidak ada (rakor), memang tidak diperlukan peraturan itu (untuk memerlukan rakor) pada tahun 2004, ini yang dijadikan sebagai disangkakan itu," jelas Budiawan.
Budiawan pun semakin meyakini bahwa ada kepentingan politis lewat ditersangkakannya Tom Lembong oleh Kejagung.
"Jadi saya lihat ini pemaksaan dan jadi kalau ditanya apa ini untuk kepentingan politik atau hukum? Menurut saya, ini sangat sarat politik," pungkasnya.
Duduk Perkara Tom Lembong Jadi Tersangka Korupsi Impor Gula
Sebelumnya, Kejagung menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor di Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada tahun 2015-2016.
Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar menuturkan duduk perkara penetapan tersangka Tom Lembong berawal ketika pada tahun 2015, Indonesia dinyatakan surplus gula sehingga tidak perlu dilakukan impor.
Namun, Qohar mengatakan Tom Lembong yang saat itu menjabat sebagai Mendag justru tetap mengizinkan adanya impor gula ke PT AP.
"Di tahun yang sama yaitu tahun 2015, Menteri Perdagangan yaitu Saudara TTL memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP yang kemudian gula kristal mentah tersebut diolah menjadi gula kristal putih (GKP)," kata Qohar dalam konferensi pers di Kantor Kejagung, Jakarta pada Selasa (29/10/2024).
Qohar mengungkapkan izin impor gula yang diterbitkan oleh Tom Lembong justru diberikan kepada PT AP yang notabene adalah bukan perusahaan milik BUMN.
Padahal, merujuk pada peraturan Mendag dan Menperin, perusahaan yang diizinkan untuk mengimpor gula adalah perusahaan milik BUMN.
Tak cuma itu, Qohar juga menyebut izin impor gula dari Tom Lembong itu tidak diputuskan lewat rapat koordinasi (rakor) dengan instansi terkait dan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Qohar menuturkan lalu ada rapat bersama dengan kementerian di bawah Kemenko Perekonomian yang salah satunya membahas terkait kurangnya cadangan gula pada tahun 2016 sebanyak 200.000 ton.
Baca juga: Kejagung soal Penetapan Tersangka Tom Lembong: Perkaya Orang Lain dan Korporasi Juga Bisa Dipidana
Lalu, pada November 2016, Tom Lembong memerintahkan Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI berinisial CS memerintahkan setiap manajer untuk melakukan pertemuan dengan 8 perusahaan swasta yang bergerak di bidang produksi gula.
"Padahal dalam rangka pemenuhan kondisi harga, harusnya yang diimpor adalah gula kristal putih secara langsung yang dapat melakukannya hanya (perusahaan) BUMN," jelas Qohar.
Selain melanggar soal regulasi perizinan, Qohar juga menyebut perusahaan yang diizinkan Tom Lembong untuk mengimpor gula bukan merupakan produsen gula kristal putih, melainkan produsen gula rafinasi.
"Setelah kedelapan perusahaan tersebut mengimpor dan mengelola, kemudian PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut, padahal senyatanya gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta ke pasaran atau ke masyarakat melalui distributor yang terafiliasi dengannya dengan harga Rp16.000 per kg."
"Yaitu harganya lebih tinggi dari HET yaitu Rp13.000 dan tidak dilakukan operasi pasar," jelas Qohar.
Dari perizinan itu, Qohar menuturkan PT PPI memperoleh fee Rp105 rupiah per kg dari 8 perusahaan tersebut.
Qohar mengatakan perbuatan Tom Lembong ini mengakibatkan negara mengalami rugi mencapai Rp400 miliar.
Kini, Tom Lembong ditahan selama 20 hari ke depan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan.
Tom Lembong dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Artikel lain terkait Kasus Impor Gula