Soal Wacana Omnibus Law UU Politik, Anggota Baleg: UU Cipta Kerja Pernah Ditolak Besar-besaran
jangan sampai penggabungan UU terkait dengan politik menjadi satu paket itu justru menimbulkan kebingungan dalam pengimplementasiannya.
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Baleg DPR RI dari Fraksi PKB Daniel Johan merespons soal adanya ide melakukan Revisi Undang-Undang (UU) terkait dengan politik dalam metode Omnibus Law.
Meski metode tersebut dinilai bisa lebih efisien, namun Daniel Johan meminta agar bisa dibahas secara teliti dan cermat, jangan sampai justru menimbulkan tumpang tindih antar satu UU dengan UU lainnya.
Baca juga: MK Kabulkan Gugatan Buruh, Said Iqbal: Omnibus Law Masa Lalu Selamat Tinggal Klaster Ketenagakerjaan
"Omnibus bukan satu-satunya jalan tetapi kita perlu menyelaraskan antar UU sehingga tidak terjadi tumpang tindih," kata Daniel Johan saat dikonfirmasi awak media, Jumat (1/11/2024).
Menurut politikus PKB itu, jangan sampai penggabungan UU terkait dengan politik menjadi satu paket itu justru menimbulkan kebingungan dalam pengimplementasiannya.
Baca juga: Said Iqbal: Omnibus Law Penghambat Kebijakan Presiden Prabowo
Sehingga menurut dia, penting dilakukan pengkajian yang lebih mendalam termasuk soal bagaimana dampak dari Omnibus Law tersebut nantinya.
"Boleh saja kita bikin omnibus law tapi perlu kita kaji dulu lebih dalam dampaknya bagaimana, kemudian kita harus bisa memastikan keterlibatan dari semua stakeholder. Jangan sampai dilakukan dengan terburu-buru," tutur dia.
Ia lantas menyinggung soal adanya produk Omnibus Law yang justru menciptakan respons tidak baik di publik.
Dirinya berkaca pada penetapan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang mendapatkan penolakan besar.
"Kita pernah punya pengalaman dalam UU Cipta Kerja yang dilakukan dengan metode omnibus law. Kita lihat reaksi publik waktu itu yang ditolak besar-besar kemudian setelah disahkan digugat ke MK," ucapnya.
Atas hal itu, Anggota Komisi IV DPR RI tersebut menegaskan, sejatinya yang harus dilakukan dalam menyusun UU bukan pada bagaimana hal itu efisien.
Akan tetapi, dia menaruh fokus agar bagaimana UU itu nantinya setelah disahkan tidak menimbulkan kebingungan dalam penerapannya.
Tak hanya itu, dirinya juga menekankan agar dalam penyusunan RUU diperlukan adanya transparansi terhadap setiap stakeholder.
"Sebenarnya yang terpenting dalam menyusun UU adalah bagaimana kita bisa memberikan ruang kepada semua stakeholder dan dilakukan dengan transparan," tukas dia.
Baca juga: 7 Poin Gugatan Buruh soal Omnibus Law UU Cipta Kerja, Menentang Upah Murah Hingga PHK
Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengusulkan untuk merevisi paket delapan undang-undang yang berkaitan dengan politik.
Ke depan, revisi ini akan direncanakan menggunakan paket Omnibus Law
"Jadi karena itu saling terkait semua," kata Wakil Ketua Baleg DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tandjung di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, dikutip Kamis (31/10/2024).
Adapun kedelapan undang-undang yang dimaksud untuk direvisi dengan omnibus law yakni UU Pemilu, UU Pilkada, UU Partai Politik, dan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), UU Pemerintah Daerah, UU DPRD, UU Pemerintah Desa, hingga UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.
Doli menyampaikan, jika revisi itu dapat dimulai dari revisi UU Pemilu.
"Di situ outputnya siapa yang ikut dalam pemilu, partai politik gitu. Nah kemudian apa output dari pemilu, ya itu kan lembaga keterwakilan, lembaga politik," katanya.
Di sisi lain, Doli menegaskan, soal pentingnya untuk memecah UU MD3.
Nantinya, MPR, DPR dan DPD punya UU tersendiri.
"Kemarin bagus juga itu usulan dari Indonesia Parliament Center itu. Harusnya punya undang-undang sendiri, MPR punya undang-undang sendiri, DPR punya undang sendiri, DPD punya undang sendiri," tandas Politisi Partai Golkar itu.