Soal Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi Timah, Ahli: Harus Bersifat Nyata, Tidak Boleh Asumsi
Siswo menuturkan bahwa dalam hukum keuangan negara, terkait kerugian negara haruslah memiliki kepastian dan bersifat nyata.
Penulis: Fahmi Ramadhan
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Hukum Keuangan Negara, Siswo Sujanto mengungkapkan bahwa kerugian negara dalam suatu kasus tindak pidana korupsi harus bersifat nyata atau mesti bentuk uang dan tidak hanya sekadar asumsi.
Adapun hal itu diungkapkan Siswo saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi ahli dalam sidang lanjutan kasus korupsi tata niaga komoditas timah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (7/11/2024).
Baca juga: Eks Plt Kadis ESDM Babel Mengaku Tak Tahu soal Kepastian Izin Penambangan Bijih Timah Pihak Smelter
Duduk sebagai terdakwa dalam sidang ini yakni Harvey Moeis, Direktur Utama PT Refined Bangka Tin Suparta dan Direktur Pengembangan Usaha PT RBT Reza Andriansyah.
Informasi itu bermula ketika Siswo ditanya oleh Ketua Majelis Hakim Eko Aryanto perihal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait aturan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
"Mengenai Putusan MK, dalam Undang-Undang Tipikor ya, bahwa potensi kan sudah dihilangkan. Bagaimana pendapat Ahli bahwa kerugian negara itu harus real dan nyata," tanya Hakim Eko.
Baca juga: Korupsi Timah, Harvey Moeis Mengaku 4 Smelter Swasta Tak Tahu Dana CSR Dipakai Untuk Beli Alat Covid
Siswo menuturkan bahwa dalam hukum keuangan negara, terkait kerugian negara haruslah memiliki kepastian dan bersifat nyata.
Selain itu kata dia, kerugian negara yang dimaksud nyata dan pasti adalah uangnya terlihat dan dapat diukur nilainya, serta tidak boleh dilandasi atas asumsi.
"Dalam hukum keuangan negara yang dianut di kita itu dinyatakan bahwa kerugian negara harus bersifat nyata dan pasti. Nyata itu artinya ada uangnya, jadi tidak boleh diasumsikan, kemudian pasti itu terukur," ujar Siswo.
Kemudian Hakim pun coba mendalami pengetahuan Siswo perihal pengertian daripada kerugian perekonomian suatu negara.
Mendengar pertanyaan itu Siswo menuturkan, bahwa bentuk kerugian perekonomian negara yakni apabila terdapat hal yang semestinya bisa menjadi pemasukan bagi negara namun pada kenyataannya justru tidak terlaksana.
Ia pun mencontohkan salah satu kasus yang kerap terjadi di tanah air semisal tidak dibayarkannya bea masuk bagi setiap kapal-kapal asing yang melintas di wilayah tanah air.
Menurut dia padahal bea masuk tersebut bisa menjadi pemasukan bagi kas suatu negara.
"Ketika ditanya berapa kerugian keuangan negara. Kerugian negara sebenarnya yaitu sebesar bea masuk yang tidak dibayar, jadi katakanlah harusnya dibayar bea masuknya Rp100 miliar tidak dibayar, Itu adalah kerugian keuangan negara. Uang yang seharusnya masuk, tapi tidak masuk," pungkasnya.
Adapun terkait kerugian akibat kasus korupsi tata niaga timah ini sebelumnya diungkapkan oleh Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo.
Bambang menyebut bahwa kerugian negara akibat tambang timah di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan dari tahun 2015 - 2022 sebesar Rp271 triliun.
"Kalau semua digabungkan kawasan hutan dan nonkawasan hutan total kerugian akibat kerusakan yang harus ditanggung negara adalah Rp271,06 triliun," kata Bambang saat Konferensi Pers di Gedung Kejaksaan Agung, Senin (19/2/2024) lalu.
Baca juga: Sidang Korupsi Timah, Eks Plt Kadis ESDM Babel Ngaku Tahu MB Gunawan Punya Usaha Timah
Total Rp 271 triliun ini juga merupakan jumlah dari kerugian perekonomian akibat galian tambang di kawasan hutan dan nonhutan. Masing-masing nilainya Rp 223.366.246.027.050 dan Rp 47.703.441.991.650.
"Sampai pada kerugiannya berdasarkan Permen LH Nomor 7/2014 ini kan dibagi du ya, dari kawasa hutan dan nonhutan," ujar Bambang.
Berikut merupakan rincian nilai kerugian perekonomian negara di masing-masing kawasan.
Kerugian untuk galian yang terdapat dalam kawasan hutan:
- Biaya kerugian lingkungan (ekologis) Rp 157.832.395.501.025.
- Biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 60.276.600.800.000.
- Biaya pemulihan lingkungan Rp 5.257.249.726.025.
Kerugian untuk galian yang terdapat dalam kawasan nonhutan:
- Biaya kerugian lingkungan (ekologis) Rp 25.870.838.897.075.
- Biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 15.202.770.080.000.
- Biaya pemulihan lingkungan Rp 6.629.833.014.575.
Sebagai informasi, berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun.
Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.
Kerugian negara yang dimaksud jaksa, di antaranya meliputi kerugian atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah.
Tak hanya itu, jaksa juga mengungkapkan, kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun. Hal itu sebagaimana hasil hitungan ahli lingkungan hidup.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.