Anggota Komisi I DPR Kritisi Joint Statement RI-China yang Singgung Laut China Selatan
TB Hasanuddin menegaskan, Indonesia selalu konsisten menolak klaim nine-dash line karena dianggap tidak memiliki basis hukum internasional dan bertent
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PDIP Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin, mengkritisi Joint Statement dari pertemuan bilateral Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atau China, Xi Jinping dan Presiden Republik Indonesia (RI), Prabowo Subianto, saat kunjungan kerja ke Beijing pada 9 November 2024.
Sebab, ada sejumlah hal yang harus menjadi perhatian Kementerian Luar Negeri (Kemlu) atas joint statement ini.
Adapun Joint Statement yang dimaksud yakni pembentukan kerja sama maritim, untuk mengatasi klaim tumpang tindih yang kerap terjadi di kawasan Laut China Selatan.
"Saya harap Kemlu RI perlu lebih berhati-hati dan responsif dalam menyikapi segala bentuk pernyataan resmi dari kunjungan kenegaraan presiden. Saya berharap Kemlu jangan hanya menjadi pemadam kebakaran jika ada problematika seperti itu," kata dia kepada wartawan Selasa (12/11/2024).
TB Hasanuddin menegaskan, Indonesia selalu konsisten menolak klaim nine-dash line karena dianggap tidak memiliki basis hukum internasional dan bertentangan dengan UNCLOS 1982 yang sudah diratifikasi.
Sementara itu, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, menyebut kerja sama maritim ini bisa memelihara perdamaian dan persahabatan di kawasan Laut China Selatan.
"Jika kita melaksanakan kerja sama ekonomi perikanan di wilayah itu dengan pihak yang kita anggap klaimnya bertentangan dengan hukum internasional, bukankah itu menunjukkan ketidakpatuhan kita? Bahkan mungkin kerja sama itu berpotensi melanggar hukum karena kita sudah meratifikasi UNCLOS sebagai UU Nomor 17/1985," ujarnya.
Baca juga: Trump Puji Bahasa Inggris Prabowo: Anda Orang Yang Sangat Dihormati
Selain itu, Kemlu RI dalam klarifikasinya menyebutkan, kerja sama maritim antara RI-RRT mencakup aspek ekonomi di bidang perikanan dan konservasi perikanan di kawasan Laut China Selatan.
"Selama ini kapal-kapal China masuk ke wilayah Natuna dan melakukan pencurian ikan.
Kalau kerja sama ekonomi ini dilakukan, apakah menguntungkan kita? Apakah kapal-kapal nelayan China kemudian bebas berkeliaran di wilayah Natuna untuk menangkap Ikan kita? Ini perlu diwaspadai," ucap legislator PDIP itu.
Hasanuddin menambahkan, apapun bentuk kerja sama maritim RI-RRT, Kemlu seharusnya lebih sensitif dengan melihat sengketa di LCS adalah persoalan kolektif ASEAN.
Menurutnya, jangan sampai kerja sama maritim RI dengan RRT di bidang ekonomi malah memperkeruh situasi di Laut China Selatan atau hubungan baik Indonesia dengan negara-negara ASEAN.
"Bagaimana pun tetangga adalah pihak yang paling dekat untuk dimintai bantuan kalau kita ada masalah," tandasnya.
Baca juga: RI - Tiongkok Sepakati Kerja Sama Maritim, Atasi Masalah yang Kerap Terjadi di Laut China Selatan
Indonesia dan China menyepakati pembentukan kerja sama maritim, untuk mengatasi permasalahan yang kerap terjadi di kawasan Laut China Selatan.
Kerja sama ini dijalin berdasarkan semangat Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut China Selatan atau Declaration of the Conduct of the Parties in the South China Sea yang disepakati negara ASEAN dan RRT pada 2002 silam.