Hakim Tegur Jaksa Penuntut Umum agar Tak Menutupi Hasil Audit BPKP
Teguran Ketua Majelis Hakim Rianto Adam Pontoh dalam sidang dugaan tindak korupsi tata niaga timah dengan terdakwa Mochtar Riza Pahlevi
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Teguran Ketua Majelis Hakim Rianto Adam Pontoh dalam sidang dugaan tindak korupsi tata niaga timah dengan terdakwa Mochtar Riza Pahlevi itu berawal dari desakan ketua majelis hakim terkait cara menghitung kerugian negara yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Rabu, (13/11/2024).
Di lain pihak, saksi ahli auditor BPKP Suaedi membacakan keterangan saksi dan ahli yang tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidik terkait tindakan melawan hukum dalam proses penambangan dan pengolahan bijih timah.
“Yang ahli bacakan ini sudah jadi fakta di persidangan. Maksud pertanyaan saya adalah perhitungan biaya. Karena ahli seorang auditor tentu kita bicara hitung-hitungan. Apakah memang benar angka 3700–2500 dolar AS/metrik ton itu kemahalan? Variable apa saja yang digunakan sehingga disimpulkan kemahalan? Tidak perlu membacakan BAP,” tanya hakim.
Menjawab pertanyaan itu, saksi Suaedi mengatakan bahwa hal itu dijelaskan dalam hasil audit halaman 33.
Namun, penasehat hukum Junaedi Saibih memprotes karena pihaknya tidak pernah diberi kesempatan untuk mendapatkan salinan hasil audit untuk dianalisa dijadikan bahan pembelaan.
“Ada ketakutan apa sehingga JPU untuk membuka hasil audit?” kata Junaedi.
“Mohon izin Yang Mulia. Ini kan salah satu alat bukti, jadi tidak kami perbanyak dan tidak kami serahkan, tapi akan kami perlihatkan di persidangan ini,” jelas JPU.
Menanggapi protes itu, Hakim Rianto Adam Pontoh menegaskan bahwa hasil audit diperlihatkan di persidangan dalam bentuk slide.
Hakim mengingatkan bahwa persidangan ini terbuka untuk umum, apalagi para pihak di persidangan.
Persoalan validitas perhitungan oleh ahli ini menjadi fokus pertanyaan majelis hakim.
Salah satunya adalah fakta pencampur antara komponen Harga Pokok Penjualan (HPP) di Muntok (wilayah Bangka Belitung) dengan di Kundur (wilayah Kepri).
Hakim mempertanyakan kenapa mencampuradukan dua komponen ini, padahal yang dibahas hanya Bangka Belitung.
Demikian pula dengan komponen Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) sebagai komponen penting untuk melihat kesesuaian antara rencana perolehan bijih timah dan biaya dengan realisasinya.
“Apakah RKAB telah benar-benar dilakukan analisis dan verivikasi?” tanya Hakim.
“Tidak Yang Mulia,” jawab saksi ahli.
Sementara di awal persidangan, hakim juga meminta agar saksi menjelaskan perbandingan efisiensi biaya jika PT Timah menambang dan melakukan proses peleburan atau pelogaman sendiri dibandingkan dengan membeli bijih timah dari masyarakat dan kolektor serta kerjasama dengan smelter.
Baca juga: Komandan Brimob Bantah Tudingan Jaksa Agung soal Kepung Kejagung saat Usut Kasus Timah
“Dari keterangan saksi dan ahli ini adalah penambangan illegal Yang Mulia. Sumber daya alam diperlukan izin. Maka kami berkesimpulan bahwa perolehan bijih timah tanpa izin itu ilegal dan itu lah kerugian negara Yang Mulia,” jelas Suaedi.