Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sosok Riken Yamamoto, Arsitek Top Dunia Minta Indonesia Tak Pindah Ibu Kota Negara, Singgung Ekonomi

Seperti apa sosok Riken Yamamoto, arsitek top dunia asal Jepang yang menilai Indonesia tak perlu pindah ibu kota negara?

Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Nanda Lusiana Saputri
zoom-in Sosok Riken Yamamoto, Arsitek Top Dunia Minta Indonesia Tak Pindah Ibu Kota Negara, Singgung Ekonomi
YouTube T-ADS
Sosok Riken Yamamoto, arsitek top dunia asal Jepang yang menilai Indonesia tak perlu pindah ibu kota negara. 

TRIBUNNEWS.com - Arsitek top dunia asal Jepang yang merupakan penerima Pritzker Architecture Prize 2024, Riken Yamamoto, menilai Indonesia tak perlu memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan.

Sebab, menurutnya, jika Indonesia memaksakan diri memindah ibu kota negara, maka Jakarta berisiko hancur dan perekonomian bakal jatuh.

Pasalnya, Yamamoto berpendapat kehidupan warga-warga kampung di Jakarta masih belum terjamin.

Padahal, baik atau tidaknya kualitas hidup sebuah negara, dilihat dari keseharian warga-warganya di kampung.

"Jakarta akan hancur berantakan nanti (jika ibu kota dipindah), karena dasar kehidupannya, rakyat perkampungannya saja masih belum nyaman."

"Perekonomian juga akan jatuh kalau (ibu kota) dipaksakan pindah ke Kalimantan," jelas Yamamoto kepada koresponden Tribunnews.com di Jepang, Jumat (15/11/2024).

Baca juga: 2 Alasan Indonesia Tak Perlu Pindah Ibu Kota Menurut Arsitek Riken Yamamoto: Jakarta Akan Hancur

"Jangan pindahkan Jakarta sebagai ibu kota ke ibu kota baru yang ada di Kalimantan," lanjutnya.

Sosok Riken Yamamoto

Berita Rekomendasi

Dikutip dari laman Pritzker Prize, Riken Yamamoto lahir di Beijing, Tiongkok, pada 1945.

Ia pindah ke Yokohama, Jepang, tak lama setelah Perang Dunia II Berakhir.

Meski tak pernah bertemu sang ayah yang sudah berpulang sejak ia kecil, Yamamoto meniru karier ayahnya sebagai seorang insinyur dalam beberapa hal.

Pada 1968, Yamamoto lulus dari Universitas Nihon, Jurusan Arsitektur.

Ia kemudian melanjutkan studi untuk meraih gelar Master dalam bidang Arsitektur di Universitas Seni Tokyo dan lulus tahun 1971.


Dua tahun setelahnya, ia mendirikan praktiknya, Riken Yamamoto & Field Shop.

Di awal kariernya, Yamamoto lebih banyak melancong ke berbagai negara untuk mencari pemahaman tentang komunitas, budaya, dan peradaban.

Ia melakukan perjalanan tersebut bersama mentornya, Hiroshi Hara.

Pada 1972, Yamamoto menghabiskan banyak waktu di sepanjang garis pantai Laut Mediterania, mengunjungi Prancis, Spanyol, Maroko, Aljazair, Tunisia, Italia, Yunani, dan Turki.

Dari Eropa, Yamamoto berpindah ke benua Amerika dan Asia.

Lewat perjalanannya, Yamamoto mendapat gagasan mengenai "ambang batas" antara ruang publik dan privat adalah bersifat universal.

Dari situ, ia kembali mempertimbangkan mengenai batas-batas antara ranah publik dan sosial sebagai peluang sosial, berkomitmen pada keyakinan, semua ruang dapat memperkaya dan melayani seluruh komunitas, bukan hanya mereka yang menempati.

Dengan pemikiran itu, Yamamoto mulai merancang hunian keluarga tunggal yang menyatukan lingkungan alami dan buatan.

Baca juga: Arsitek Top Dunia Riken Yamamoto Minta Indonesia Jangan Pindah Ibukota Negara, Sebut Ini Bahayanya

Proyek pertamanya adalah Yamakawa Villa di Nagano pada 1977, yang terbuka di semua sisi dan terletak di hutan.

Proyek itu dirancang agar terasa sepenuhnya seperti teras terbuka.

Pengalaman itu secara signifikan memengaruhi karya-karyanya di masa depan, saat ia memperluas kariernya dengan menangani proyek perumahan sosial bersama Hotakubo Housing di Kumamoto pada 1991.

Dari proyek itu, Yamamoto berupaya menjembatani budaya dan generasi lewat kehidupan yang relasional.

Transparansi, bentuk, material, dan filosofi tetap menjadi elemen penting dalam karya-karyanya.

Ia menggunakan pendekatan perencanaan kota yang menunjukkan evolusi sebagai properti penting dalam pengembangan Ryokuen-toshi, Inter-Junction City di Yokohama.

Yamamoto terus mendorong masyarakat di gedung-gedung besar dengan mengadaptasi bahasa arsitekturnya ke proyek-proyek seperti Universitas Prefektur Saitama di Koshigaya (1999) dan Perpustakaan Tianjin di Tingkok (2012), yang membuktikan penguasannya terhadap skala.

Karyanya makin banyak, mulai dari rumah tinggal pribadi hingga perumahan umum, sekolah dasar hingga gedung universitas, dan lembaga hingga ruang publik.

Baru-baru ini, ia diangkat menjadi profesor tamu di Universitas Kanagawa, Yokohama.

Yamamoto pernah menjadi profesor tamu di Universitas Seni Tokyo (2022-2024) dan sebelumnya pernah mengajar di Universitas Nihon, Sekolah Pascasarjana Teknik (2011-2013); Universitas Nasional Yokohama, Sekolah Pascasarjana Arsitektur (2007-2011); Universitas Kogakuin, Jurusan Arsitektur (2002-2007); dan menjabat sebagai Presiden Universitas Seni dan Desain Nagoya Zokei (2018-2022).

Ia diangkat sebagai Akademisi oleh Akademi Arsitektur Internasional (2013).

Selama berkarier sebagai arsitek, Yamamoto telah meraih banyak penghargaan, termasuk apan Institute of Architects Award for the Yokosuka Museum of Art (2010), Public Buildings Prize (2004 and 2006), Good Design Gold Award (2004 and 2005), Prize of the Architectural Institute of Japan (1988 and 2002), Japan Arts Academy Award (2001), dan Mainichi Art Awards (1998).

Saat ini, Yamamoto terus berpraktik dan tinggal di Yokohama.

Karya-karyanya bisa ditemukan di seluruh Jepang, Tiongkok, Korea, dan Swiss.

(Tribunnews.com/Pravitri Retno W/Richard Susilo)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas