Pemerintah Diingatkan Evaluasi Kebijakan yang Berpotensi Halangi Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen
Pemerintah perlu mengevaluasi ulang kebijakan atau regulasi yang berpotensi menghalangi target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan Prabowo.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat ekonomi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Malik Cahyadin mengatakan pemerintah perlu mengevaluasi ulang kebijakan atau regulasi yang berpotensi menghalangi target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto.
Salah satu regulasi yang dipandang perlu dievaluasi ulang adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang bersinggungan dengan industri tembakau.
Baca juga: Bank Indonesia Sebut Pertumbuhan Ekonomi Kuartal IV 2024 Masih Ditopang Konsumsi Pemerintah
"Kalau industri kita ditekan, maka rakyat kita juga yang akan mengalami dampaknya. Apakah target 8 persen ini bisa tercapai dengan adanya Rancangan Permenkes? Indikator kita menjadi kontras dan terus menurun jika aturan ini diberlakukan," kata Malik, dalam diskusi Ruang Rembuk Tribunnews bertajuk ‘Dampak Polemik Regulasi Nasional Terhadap Ekosistem Pertembakauan Jawa Tengah’ dikutip Kamis (21/11/2024).
Ia kemudian mengambil contoh soal rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas.
Menurutnya rencana ini bukan hal substansial jika tujuannya mengendalikan konsumsi masyarakat.
Justru aturan ini dinilai bisa berdampak ke sektor lainnya yang berkaitan, seperti para pekerja di bidang industri kreatif.
"Aturan ini tidak hanya merugikan pekerja tembakau, tapi juga berdampak bagi pekerja kreatif. Padahal, pekerja kreatif memiliki kontribusi penting terhadap nilai tambah ke negara, yang semestinya dijadikan perhatian bersama," kata dia.
Dalam forum diskusi serupa, Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Andreas Hua mengatakan, per Mei 2024, ada sekitar 99.177 pekerja tembakau yang tersebar di Jawa Tengah di mana sebagian besar adalah pekerja perempuan yang jadi tulang punggung keluarga.
Menurutnya jika sebuah kebijakan eksesif terhadap industri tertentu, maka yang terjadi adalah efek domino pada penghidupan pekerja industri yang terdampak.
"Aturan ini bisa mematikan penghidupan pekerja di Indonesia. Ambil contoh Kudus, kalau industri rokoknya mati, maka ada 77.000 pekerja yang akan terdampak. Itu baru satu wilayah saja loh," kata Andreas.
Pihaknya pun menyatakan secara tegas menolak rencana aturan penyeragaman yang tertuang dalam Rancangan Permenkes, apalagi jika aturan itu bisa mengancam pekerja di dalamnya.
"Pokoknya, kita tidak setuju akan aturan ini karena dapat mengancam para pekerja yang terlibat di dalamnya," tegasnya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of
Follow our mission at sustainabilityimpactconsortium.asia