Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Amnesty International Catat 116 Kasus Kekerasan Polisi Hingga Menimbulkan 29 Peristiwa Pembunuhan

Usman Hamid membeberkan sepanjang 2024, Amnesty International memantau kasus-kasus kekerasan polisi yang tergolong pelanggaran HAM. 

Penulis: Gita Irawan
Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Amnesty International Catat 116 Kasus Kekerasan Polisi Hingga Menimbulkan 29 Peristiwa Pembunuhan
Tribunnews.com/Gita Irawan
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid usai memaparkan temuan pihaknya di kantornya, Menteng Jakarta Pusat pada Senin (9/12/2024). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Amnesty International Indonesia (Amnesty) mencatat sebanyak 116 kasus kekerasan hingga 29 pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing) yang melibatkan anggota Polri di seluruh Indonesia dalam periode Januari sampai November 2024.

Hal tersebut merupakan bagian dari temuan Amnesty International Indonesia yang dipaparkan di kantornya, Menteng, Jakarta Pusat pada Senin (9/12/2024).

Baca juga: Bocah 5 Tahun di Pasar Rebo Dirudapaksa Ayah Kandung hingga Tewas, 8 Orang Diperiksa Polisi

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid membeberkan sepanjang 2024, Amnesty International memantau kasus-kasus kekerasan polisi yang tergolong pelanggaran HAM. 

Dari data yang dipaparkan Usman, 116 kasus kekerasan tersebut terdiri dari 29 kasus pembunuhan di luar hukum, 26 kasus penyiksaan, 21 kasus penangkapan sewenang-wenang dalam aksi damai, 28 kasus intimidasi dan kekerasan fisik, 7 kasus penggunaan kekuatan gas air mata dan water canon, 3 kasus penahanan incommunicado, 1 kasus pembubaran diskusi, dan 1 kasus penghilangan sementara.

Baca juga: Pembunuhan Sadis di Kediri: Yusa Tak Habisi Anak Bungsu Korban

Amnesty juga mencatat 29 kasus pembunuhan di luar hukum tersebut menewaskan 31 orang.

Kasus tersebut tersebar di Papua, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Aceh, dan Banten.

Berita Rekomendasi

"Yang terakhir, 25 November (2024) polisi menembak remaja berinisial GM dari Semarang, ketika dia mengendarai sepeda motor. Dari awal polisi terkesan menutupi perkara ini. Seolah penembakan itu bisa dibenarkan karena polisi sedang melakukan penertiban peristiwa tawuran," kata Usman.

"Yang belakangan, kita semakin meragukan karena tidak ada peristiwa tawuran ini. Jadi betapa terlalu cepat kepolisian mengambil tindakan kekerasan untuk masalah yang sepele. Masalah yang sebetulnya tidak perlu menggunakan kekerasan," sambungnya.

Amnesty juga mencatat temuan khusus terkait rangkaian aksi protes pada 22 sampai 29 Agustus 2024 atau Peringatan Darurat di 14 kota yang tersebar di 10 provinsi di Indonesia.

Dalam aksi tersebut, ujar Usman, setidaknya 579 orang menjadi korban kekerasan polisi.

Amnesty, kata Usman, juga mewawancari sejumlah saksi di enam kota yang mengalami dan melihat peristiwa tersebut.

Terkait itu, Usman pun menunjukkan sejumlah bukti video yang dikumpulkan Amnesty.

Dia juga menegaskan kekerasan tersebut tidak bisa dibenarkan sama sekali.

"Ini kalau dipetakan, kalau kita lihat di Banda Aceh, itu kita bisa lihat verifikasi video Amnesty khususnya oleh Tim Evidence Lab. Amnesty punya sebuah tim yang terdiri dari orang-orang yang bekerja di laboratorium pembuktian atau laboratorium bukti," ujarnya.

Baca juga: Alasan Pelaku Pembunuhan di Kediri Tak Habisi Nyawa Anak Bungsu Korban, Polisi: Tersangka Kasihan

"Dan bisa memverifikasi video-video yang kami temukan di lapangan dan memperlihatkan di mana persisnya, kapan persisnya kejadiannya, dan apa saja bentuk-bentuknya," sambungnya.

Usman mengatakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polri tersebut terus berulang karena setidaknya empat hal.

"Pertama adalah karena selama ini tidak pernah ada pertanggungjawaban atas kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia akibat kekerasan polisi, sehingga tidak ada efek jera," kata Usman.

Kedua, lanjutnya, kuatnya persepsi di kalangan aparat bahwa warga yang mengkritik kebijakan pemerintah lewat aksi-aksi unjuk rasa adalah ancaman keamanan.

Ketiga, ungkapnya, minimnya komitmen negara untuk melindungi hak warga termasuk berekspresi dan berkumpul secara damai.

"Keempat, karena adanya kebijakan di kepolisian. Jadi peristiwa-peristiwa di lapangan yang tadi kita lihat, bukanlah peristiwa di mana aparat polisi melakukan tindakan itu sendiri-sendiri. Atau aparat itu melakukan tindakan dengan melanggar perintah atasannya, melainkan kebijakan kepolisian," kata dia.

"Dan karena itu, sampai hari ini tidak ada yang mendapatkan penghukuman," sambungnya.

Atas temuan tersebut, Amnesty mengemukakan empat poin kesimpulan.

Pertama, ungkap Usman, kekerasan polisi yang berulang ialah "lubang hitam" pelanggaran HAM. 

Penggunaan kekuatan yang tak perlu dan tak proporsional secara berulang dan tanpa adanya akuntabilitas, lanjutnya, adalah kebijakan kepolisian merepresi tiap protes atas kebijakan negara atau pejabat atau industri strategis, bukan tanggung jawab petugas yang bertindak sendiri di lapangan atau melanggar perintah atasan.

Kedua, kata Usman, kekerasan polisi atas aksi Peringatan Darurat merupakan pilihan kebijakan mengamankan kepentingan pemerintah dan mengulangi kebijakan represif terhadap suara-suara kritis atas proyek strategis nasional di Rempang, Seruyan, Mandalika, dan lainnya.

Seluruhnya, lanjut Usman, menunjukkan polisi mengkhianati tugas melindungi HAM sesuai hukum nasional dan internasional.

Ketiga, jika ditambah deretan kekerasan polisi yang marak dibincangkan masyarakat, kata Usman, jelas tahun 2024 tidak memperlihatkan adanya perbaikan sistem di kepolisian. 

Sebaliknya, ungkap dia, hal itu malah memperlihatkan semakin darurat karena seluruh kasus kekerasan polisi berujung dengan pembenaran dan tanpa pertanggungjawaban.

"Keempat, janji Kapolri Listyo Sigit Prabowo bahwa era kepemimpinannya akan mengutamakan pendekatan humanis terbukti gagal," kata Usman.

"Masyarakat yang sedang aktif-aktifnya menyuarakan haknya justru dibungkam, serta disalahkan dengan alasan yang dicari-cari. Separatis, tawuran melempari polisi, menyerang polisi misalnya. Ini mencerminkan bagaimana pemolisian saat ini adalah pemolisian otoriter-represif bukan demokratis-humanis seperti yang dijanjikan," kata Usman.

Atas kesimpulan itu, Amnesty merekomendasikan empat poin.

Baca juga: Amnesty International Menilai Ada Tarik Menarik Kepentingan KPK & Polri terkait Kasus Firli Bahuri

Pertama, mendesak DPR RI untuk menggunakan hak-hak konstitusional berupa hak angket, interpelasi, dan menyatakan pendapat dalam rangka menyelidiki tanggungjawab kebijakan strategis polisi.

Kedua, mendesak DPR RI memanggil Kapolri guna dimintai tanggungjawab atas maraknya kekerasan polisi di masyarakat, khususnya yang merefleksikan pola kebijakan represif, bukan perilaku orang per orang anggota polisi yang bertindak sendiri atau melanggar perintah atasan.

Ketiga, pelaksanaan hak-hak DPR termasuk panggil Kapolri harus diarahkan pada dua hal.

Pertama adalah evaluasi menyeluruh atas kebijakan penggunaan kekuatan dan juga senjata api maupun senjata 'kurang mematikan' sesuai prinsip HAM.

Kedua pertanggungjawaban kebijakan polisi sesuai hukum yang berlaku termasuk bagi siapa pun yang terlibat tindak pidana umum melalui sistem peradilan umum berdasarkan bukti yang cukup, dan tanpa hukuman mati.

"Terakhir, mendesak Kompolnas dan Komnas HAM mengusut secara resmi, menyeluruh, efektif, imparsial, terbuka, dan tuntas terhadap kasus-kasus penggunaan kekuatan berlebihan," ujar Usman.

"Termasuk senjata mematikan dan tidak mematikan atau berpotensi mematikan yang kerap menyebabkan pembunuhan di luar hukum dan penyiksaan, perlakuan, serta penghukuman yang kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat," tegas Usman.

 

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas