Pakar Hukum UII Gelar Eksaminasi Terkait Putusan Praperadilan Tom Lembong
Pihak Tom Lembong pun sudah mengajukan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pro-kontra muncul terkait penetapan mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula oleh Penyidik Kejaksaan Agung.
Pihak Tom Lembong pun sudah mengajukan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Setelah melalui proses persidangan, pada Selasa 26 November 2024 lalu, permohonan praperadilan ditolak.
Putusan praperadilan tersebut ternyata memancing pro-kontra di publik. Bahkan, Center for Leadership and Law Development Studies (CLDS) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta melakukan sidang eksaminasi atas putusan praperadilan Tom Lembong.
Tim Eksaminasi CLDS FH UII terdiri dari para ahli hukum pidana yang kompeten seperti Prof. Dr. Rusli Muhammad, SH., MH. Prof. Hanafi Amrani, SH., MH., LLM., PhD., Dr. Muhammad Arif Setiawan, SH., MH. dan Wahyu Priyanka Nata Permana, SH., MH.
Sidang eksaminasi juga dihadiri oleh sejumlah dosen pengajar hukum pidana, praktisi bantuan hukum dan advokat, serta mahasiswa pascasarjana program Magister Hukum (S2) yang mengambil konsentrasi bidang hukum pidana (Ilmu Hukum dan Sistem Peradilan Pidana).
Hasil eksaminasi ini disampaikan oleh Tim Eksaminator dalam jumpa pers yang digelar pada Sabtu 14 Desember 2024 di EastParc Hotel, Sleman, Yogyakarta.
Berdasarkan legal issue, sidang eksaminasi menghasilkan sejumlah kesimpulan.
Yakni, Tim Eksamintor tidak sepakat dengan pertimbang hukum hakim praperadilan yang menyatakan bahwa tidak diberikannya kesempatan menunjuk penasehat hukum saat Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka dan mendapinginya dalam pemeriksaan sebagai tersangka tidaklah merupakan alasan untuk menyatakan suatu penetapan tersangka menjadi tidak sah.
“Sangat tidak tepat pertimbang hukum hakim praperadilan,” terang Tim Eksaminator dalam salinan eksaminasi yang diterima media, Sabtu 14 Desember 2024.
Tim Eksaminator berpendapat bahwa pertimbangan hukum Hakim Praperadilan terkesan menganggap sepele mengenai hak Tom Lembong selaku tersangka untuk mendapat bantuan hukum dari seorang penasihat hukum atau lebih, yang dipercayanya untuk keperluan pembelaan bagi dirinya.
Padahal, persoalan akses untuk mendapat penasihat hukum bagi tersangka atau terdakwa merupakan salah satu indikator penting dari adanya prinsip peradilan yang adil (due process of law).
Menurut Tim Eksaminator, dengan diabaikannya hak tersangka untuk memilih sendiri penasihat hukumnya, meskipun hanya terjadi di awal penyidikan, merupakan salah satu alasan penting untuk menyatakan bahwa penetapan Tom Lembong sebagai tersangka adalah tidak sah dan melawan hukum, sebagaimana pernah diputuskan dalam beberapa kali putusan di tingkat Kasasi yaitu antara lain putusan Mahkamah Agung (MA) No.367 K/Pid/1998 tanggal 29 Mei 1998, dan putusan MA No. 1565 K/Pid/1991 tanggal 16 September 1993.
Dengan tidak diberikannya akses bagi Tom Lembong sebagai tersangka untuk memilih sendiri penasihat hukumnya, juga bertentangan dengan adagium hukum yang berbunyi, ubi jus ibi remidium, yang berarti manakala ada hak yang diberikan oleh hukum maka harus ada akses hukum untuk menuntut dan/atau untuk memperoleh haknya apabila dilanggar.
Berdasarkan asas hukum ini, seharusnya Hakim Praperadilan mengakomodasi permohonan praperadilan Tom Lembong yang telah dilanggar haknya oleh penyidik, yang tidak memberikan penasihat hukum, yang dipilihnya sendiri di awal
penyidikan, dan pada saat Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka.
Karena itu, ungkap Tim Eksaminator, seharusnya Hakim Praperadilan menyatakan bahwa penetapan Tom Lembong sebagai tersangka tidak sah, dan melawan hukum, karena tidak dipenuhinya salah satu syarat penting dalam pemenuhan hak untuk mendapatkan penasihat hukum yang dipilih Tom Lembong sendiri.
Tim Eksaminator juga menganggap bahwa Hakim Praperadilan telah salah dalam membuat pertimbangan hukumnya, dengan menyatakan bahwa “Penetapan pemohon sebagai tersangka TIPIKOR dengan sangkaan melanggar Pasal 2 ayat (1)
atau Pasal 3 UU TIPIKOR jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP oleh Termohon adalah sah”.
Sebab, menurut Tim Eksaminator, penetapan Tom Lembong sebagai tersangka, tidak didasarkan pada bukti permulaan, yakni berupa kepastian hasil penghitungan kerugian keuangan negara sebesar Rp 400 miliar, yang didasarkan hasil audit dari lembaga audit yang berwenang.
Tim Eksaminator juga menganggap, Hakim Praperadilan telah membuat pertimbangan hukum yang keliru di halaman 165 ketika menyatakan bahwa “dalam penghitungan kerugian negara tidak diharuskan adanya bentuk formal terlebih dahulu berupa penghitungan kerugian negara yang final/pasti oleh lembaga tertentu.
Dan cukup menyatakan adanya kerugian keuangan negara yang nyata (telah terjadi/actual loss) dan dapat dihitung. Sebab perhitungan kerugian demikian tidak akan menjadi pasti/final, sampai dengan diuji di persidangan oleh majelis hakim pokok perkara..”
Berdasarkan ketiga argumentasi tersebut di atas, menurut Tim Eksaminator, Hakim Praperadilan telah mengakui bahwa Kejaksaan Agung memang tidak bisa membuktikan bahwa penetapan Tom Lembong sebagai tersangka, dengan sangkaan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU TIPIKOR jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, tidaklah didasarkan bukti permulaan mengenai kepastian adanya kerugian keuangan Negara, sebagai konsekuensi logis dari delik materiil dari tindak pidana yang disangkakan kepada Tom Lembong.
Karena itu, menurut Tim Eksaminator seharusnya Hakim Praperadilan mengabulkan permohonan Praperadilan Tom Lembong dengan menyatakan penetapan tersangka oleh Kejaksaan Agung, sebagai tidak sah dan melawan hukum dengan segala akibat hukumnya.
Selain itu, perlu menyatakan bahwa apabila penentuan besarnya kerugian Negara dapat juga diketahui diujung pemeriksaan, maka apabila kepastian adanya kerugian keuangan negara ada di ujung akhir penyidikan, maka penetapan tersangkanya juga harus diujung pemeriksaan penyidikan.
Tentu sepanjang unsur lain telah pula lengkap ditemukan alat buktinya. Mengingat delik yang disangkakan adalah delik materiil, maka akibat yang dilarang harus terjadi, yang dengan demikian “kerugian keuangan negara” wajib ditentukan kepastiannya terlebih dahulu, sebelum menetapkan seseorang (atau Pemohon) sebagai tersangka.
Tim Eksaminator juga menganggap Hakim Praperadilan telah keliru dalam membuat pertimbangan hukum bahwa “Hasil Risalah, Hasil Expose Penyidik Bisa Menjadi Petunjuk dan Bukti Surat Bahwa Dari Gelar Perkara Tersebut Ada Kerugian Keuangan “.
Tim Eksaminator juga tidak sependapat dengan pendapat ahli yang dihadirkan Kejaksaan Agung terkait “Berita Acara atau Risalah Hasil Ekspose antara Penyidik dengan Auditor BPKP, yang menerangkan adanya perbuatan melawan hukum, yang mengakibatkan adanya kerugian keuangan Negara, yang ditandatangani oleh Auditor dan Penyidik di bawah sumpah jabatan adalah sah sebagai alat bukti surat berdasarkan Pasal 187 KUHAP, dan menurut Ahli sudah cukup sebagai bukti awal untuk menetapkan tersangka”
“Meskipun Hakim Praperadilan tidak langsung merujuk kepada keterangan ahli mengenai pandangannya tersebut, namun sangat mungkin Hakim Praperadilan mengambil alih atau setidaknya terinspirasi dari pendapat Ahli Hukum Pidana yang dihadirkan oleh Termohon (Kejaksan Agung) tersebut,” ungkap Tim Eksaminator.
Menurut Tim Eksaminator, risalah hasil expose dalam bentuk tertulis, bukanlah bukti surat untuk menunjukkan adanya perbuatan melawan hukum dan kerugian keuangan negara, karena risalah tersebut hanya menjelaskan tentang aktifitas penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dengan BPKP, tidak lebih dari itu.
Baca juga: Tulis Surat di Peringatan Hari HAM Dunia, Tom Lembong: Saya Rindu Kebebasan yang Dirampas dari Saya
Risalah tersebut bukan merupakan bukti petunjuk yang dimaksud KUHAP, karena menurut Tim Eksaminator, bukti petunjuk adalah bukti yang bersifat indirect (tidak langsung), yang hanya bisa diperoleh dari hasil penilaian oleh Hakim tentang adanya persesuaian antara alat bukti keterangan saksi, surat dengan keterangan terdakwa, dan dalam delik korupsi itu diperluas dengan adanya bukti elektronik.
Tim Eksaminator juga menyoal dasar hukum yang dipakai Penyidik untuk menetapkan Tom Lembong sebaga tersangka, yakni Undang-Undang (UU) Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Pangan, Kepmenperindag No. 527/Mpp/kep/9/2004 dan Permenperindag No.117 Tahun 2015. Menurut Tim Eksaminator, semua produk hukum tersebut, tidak ada yang mengatur dan menentukan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan tersebut sebagai tindak pidana korupsi.
Karena itu, dalam pandangan Tim Eksaminator, penetapan tersangka Tom Lembong bertentangan dengan asas legalitas (Pasal 1 ayat 1 KUHP) yang menjadi dasar penting dalam persoalan penentuan pidana dan pemidanaan, bahwa: “tiada ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”,
Berikutnya, Tim Eksaminator berpendapat seharusnya Hakim Praperadilan menyatakan penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agug tidak sah, karena terbukti bahwa Kejaksaan Agung terlambat menyampaikan SPDP kepada Tom Lembong, yaitu telah melebihi tujuh hari sejak terbitnya surat perintah penyidikan (Sprindik).
Menurut Tim Eksaminator, pertimbangan Hakim Praperadilan dalam perkara a quo yang justru menilai penyidikannya tetap sah meskipun terbukti penyerahan SPDP kepada Pemohon terlambat, hal itu tentu tidak sesuai dengan Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat tujuh hari, setelah dikeluarkannya Sprindik.
Berkaitan dengan pertimbangan hukum Hakim Praperadilan yang menilai bahwa penahanan terhadap Tom Lembong sudah sesuai dengan alasan obyektif dan subyektif yang ditentukan KUHAP, menurut Tim Eksaminator perlu dilakukan reinterpretasi yang tepat terhadap interprestasi yang selama ini dilakukan, yaitu sekedar alasan
subyektif Penyidik, yang khawatir bahwa kalau tidak ditahan tersangka akan melarikan diri, menghilangkan bukti atau mengulang tindak pidana.
Kalau itu semata-mata didasarkan penilaian subjektivitas penegak hukum, maka akan menimbulkan discretionary power, sehingga tidak ada ukuran-ukuran yang objektif untuk menilai perlu atau tidaknya melakukan penahanan.
Menurut Tim Eksaminator, alasan objektif penahanan itu lebih ditujukan pada ‘penilaian terhadap subjek hukum’ pelaku tindak pidana.
Hal itu haruslah berdasar alasan-alasan objektif disertai bukti yang cukup, terkait dengan kekhawatiran tersebut. (*)