Susno Duadji: Putusan MA Tolak PK Terpidana Vina Cirebon Ngawur, Ada Novum Baru, Hakim Banyak Khilaf
Susno Duadji menganggap penolakan PK oleh MA adalah ngawur. Menurutnya banyak novum yang sudah diberikan pengacara terpidana saat sidang.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
TRIBUNNEWS.COM - Eks Kabareskrim, Komjen Pol (Purn) Susno Duadji menganggap putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) dari tujuh terpidana kasus pembunuhan Vina Cirebon adalah ngawur.
Dia membantah terkait alasan MA tidak mengabulkan permohonan PK karena tidak ada bukti baru.
Selain itu, Susno juga tidak setuju dengan alasan MA bahwa dalam menyidangkan kasus ini tak ada kekhilafan.
Mulanya, Susno mengungkapkan, dalam sidang PK yang sudah digelar di Pengadilan Negeri (PN) Cirebon, pembunuhan terhadap Vina dan pacarnya, Eky tidak terbukti dilakukan oleh tujuh terpidana.
Sehingga, menurutnya, PK dari tujuh terpidana itu seharusnya bisa dikabulkan.
Susno membeberkan beberapa hal yang membuat kasus tewasnya Vina dan Eky bukanlah akibat pembunuhan seperti alat bukti yang tidak memadai, tak adanya saksi, hingga tidak ada bukti forensik.
"PK-nya seharusnya dikabulkan. Mengapa? Karena dari segi materi, perkaranya pembunuhan tidak terbukti. Yang benar adalah perkara kecelakaan lalu lintas tunggal."
"Perkara pembunuhan sama sekali nggak ada alat buktinya, saksi nggak ada, bukti forensik nggak ada, ahli juga nggak ada. Kemudian TKP-nya juga salah seharusnya bukan maksud Cirebon Kota tapi Cirebon kabupaten," katanya dalam program On Focus yang ditayangkan di YouTube Tribunnews, dikutip pada Selasa (17/12/2024).
Kemudian, Susno membeberkan alasannya bahwa hakim di persidangan kasus Vina penuh dengan kesalahan.
Baca juga: PK Ditolak MA, Pengacara Terpidana Kasus Vina: Ini Bukan Kiamat, Ini Tragedi untuk Indonesia
Dia mencontohkan ketika seluruh terpidana masih dalam status sebagai tersangka, tidak didampingi oleh pengacara.
Sehingga, Susno mengatakan para terpidana tersebut harusnya dibebaskan.
Selanjutnya, Susno mengungkapkan seharusnya persidangan terhadap salah satu terpidana yang sudah bebas, Saka Tatal, digelar dengan model sidang untuk anak-anak.
"Itupun dilewati (tidak dilakukan oleh hakim)," jelasnya.
Susno juga mengatakan kekhilafan hakim selanjutnya yaitu tidak menggunakan bukti forensik seperti percakapan digital sebagai salah satu pertimbangan menjatuhkan vonis.
"Kekhilafan hakim adalah tidak menggunakan alat bukti forensik berupa pembicaraan atau chat di HP Vina dan HP Widya bahwa jam 10-an masih hidup. Itu tidak dimanfaatkan sebagai alat bukti."
"Jadi jelas, ini ditambah dengan lain lagi, kelalaian itu ada, banyak sekali lalainya hakimnya," ujarnya.
Susno Anggap Hakim MA Sebut Tak Ada Novum Ngawur
Ngawurnya hakim MA juga disebut oleh Susno terkait alasan bahwa tidak ada bukti baru atau novum yang diajukan pemohon saat persidangan PK.
Dia menegaskan segala bentuk chat yang diajukan oleh pemohon dari ponsel Vina yang tidak terungkap dalam persidangan tingkat pertama adalah novum.
Selanjutnya, Susno mengatakan ditemukannya serpihan daging di sekrup lampu penerangan di TKP juga merupakan bukti baru.
Kemudian, sambungnya, keterangan dari saksi baru yang kerap diwawancarai oleh politisi, Dedi Mulyadi dan menyebut bahwa tewasnya Vina dan pacarnya adalah kecelakaan tunggal adalah novum lainnya.
"Yang menyatakan bahwa betul dia melihat langsung dengan mata kepala sendiri bahwa itu adalah kecelakaan tunggal," kata Susno.
Dengan deretan novum tersebut, Susno menganggap hakim MA sudah ngawur dalam memberikan keputusan.
Kendati demikian, Susno tetap menghormati putusan penolakan PK dari MA meski menurutnya tidak benar terkait alasannya.
Sehingga, jika kubu para terpidana masih merasa tidak terima dengan putusan PK tersebut, maka bisa mengajukan PK lagi.
"Wah (putusan) ini ngawur, tapi karena ini sudah divonis, ya maka vonisnya ya sah. Tapi belum tentu benar. Jangan dikatakan benar."
"Makannya diberi kesempatan oleh hukum acara kita untuk melawan putusan itu kalau kita tidak terima. Undang-undang mengizinkan kita untuk melawan yaitu dengan mengajukan PK kembali," katanya.
MA Putuskan Tolak PK 7 Terpidana Vina Cirebon
MA mengumumkan menolak PK yang diajukan tujuh terpidana kasus Vina Cirebon pada Senin (16/12/2024).
Juru Bicara MA Yanto menyampaikan, alasan adanya bukti baru atau novum dan kekhilafan hakim tidak terbukti dalam proses persidangan.
“Pertimbangan majelis dalam menolak permohonan PK tersebut antara lain tidak terdapat kekhilafan judex facti dan judex juris dalam mengadili para terpidana,” kata Yanto dalam konferensi pers di Gedung MA, Jakarta.
Selain itu, kata Yanto, bukti baru yang diajukan oleh para terpidana bukan merupakan bukti baru sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 Ayat (2) huruf a KUHAP.
“Dengan ditolaknya permohonan PK para terpidana tersebut, maka putusan yang dimohonkan PK tetap berlaku,” ucapnya.
Delapan permohonan PK itu terbagi dalam tiga perkara. Pertama, teregister dengan nomor 198/PK/PID/2024 dengan terpidana atas nama Eko Ramadhani dan Rivaldi Aditya.
Kemudian, PK lima terpidana atas nama Eka Sandy, Hadi Saputra, Jaya, Sudirman, dan Supriyanto yang teregister dengan nomor 199/PK/PID/2024.
Selain itu, ada perkara eks narapidana anak dengan nomor 1688 PK/PID.SUS/2024 atau Saka Tatal yang diadili oleh Hakim Agung Prim Haryadi.
Adapun perkara Eko Ramadhani dan Rivaldi Aditya diadili oleh Ketua Majelis PK Burhan Dahlan serta dua anggota majelis, Yohanes Priyana dan Sigid Triyono.
Majelis PK atas nama Eka Sandi, Hadi Saputra, Jaya, Sudirman, dan Supriyanto yaitu Burhan Dahlan serta dua anggota majelis, Jupriyadi dan Sigid Triyono.
Dalam kasus ini, total ada delapan orang terpidana. Tujuh di antaranya divonis penjara seumur hidup.
Sementara itu, Saka Tatal dihukum delapan tahun penjara. Saka Tatal kini sudah bebas murni.
Terpidana Ogah Ajukan Grasi
Di sisi lain, tujuh terpidana kasus Vina Cirebon enggan untuk mengajukan grasi kepada Presiden Prabowo Subianto setelah tidak dikabulkannya permohonan PK oleh MA.
Hal ini disampaikan oleh kuasa hukum terpidana, Jutek Bongso.
Bahkan, kata Jutek, para terpidana rela dihukum penjara seumur hidup ketimbang mengakui bahwa telah menjadi pembunuh Vina dan Eky.
Jutek mengatakan kliennya tersebut tetap bersikukuh tidak melakukan pembunuhan tersebut.
Sebagai informasi, agar grasi diterima, maka syaratnya para terpidana harus mengakui perbuatannya.
"Mereka tidak mau melakukan langkah grasi, kenapa? Karena salah satu syarat grasi kan harus mengakui apa yang mereka perbuat," ujar Jutek pada Senin (16/12/2024).
"Kata mereka 'Kalau kami harus mengakui atas perbuatan pembunuhan itu padahal kami tidak melakukan, lebih bagus kami mati dan mendekam terus di penjara sampai mati, dan membusuk'. Mereka tidak mau (ajukan grasi)," sambungnya.
Jutek pun menyebut bakal mencari upaya lain agar ketujuh terpidana ini tetap bisa menghirup udara bebas setelah adanya putusan MA.
"Ya tentu secara konstitusi kami akan melakukan hak-hak konstitusi dari para terpidana," ucapnya.
Baca juga: Video Minta Bantuan ke Presiden, Keluarga Terpidana Kasus Vina Kecewa PK Ditolak, Beri Pesan Khusus
Diketahui, tujuh terpidana kasus Vina Cirebon menangis setelah tahu PK yang mereka ajukan ditolak MA.
"Mereka menangis, manusiawi lah ya mereka sedih. Kami juga sebagai PH (penasihat hukum) sedih, kecewa pasti," kata Jutek.
Kendati pihaknya dan kliennya kecewa, Jutek mengaku tetap menghormati keputusan yang telah diambil Mahkamah Agung terkait PK tersebut.
Dirinya juga menekankan kepada kliennya tidak bisa melawan putusan hukum tersebut dengan cara-cara di luar jalur konstitusional.
"Tapi sekali lagi ini keputusan yang harus kita hormati bersama tidak bisa di luar hal-hal konstitusional, kita harus lawan secara hukum karena negara kita adalah negara hukum," ucapnya.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Fahmi Ramadhan)
Artikel lain terkait Kematian Vina Cirebon
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.