Memori Pengesahan UU HPP yang Jadi Cikal Bakal Kenaikan PPN 12 Persen: Diinisiasi PDIP, Ditolak PKS
Payung hukum itu merupakan produk Legislatif periode 2019-2024 dan diinisiasi oleh PDI Perjuangan (PDIP).
Editor: willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana kenaikan PPN 12 persen merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Menurutnya, payung hukum itu merupakan produk Legislatif periode 2019-2024 dan diinisiasi oleh PDI Perjuangan (PDIP).
Baca juga: Menko Airlangga: Pembayaran Pakai QRIS Tidak Kena PPN
"Kenaikan PPN 12 persen, itu adalah merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan menjadi 11 persen tahun 2022 dan 12 persen hingga 2025, dan itu diinisiasi oleh PDI Perjuangan," kata Wakil Ketua Badan Anggaran DPR, Wihadi Wiyanto kemarin.
Diketahui dasar kenaikan PPN menjadi 12 persen termuat dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 atau UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). UU HPP disahkan pada 7 Oktober 2021 silam.
Panitia Kerja(Panja) RUU HPP tersebut diketuai Wakil Ketua Komisi XI DPR Fraksi PDI Perjuangan, Dolfie Othniel Fredric Palit. Saat itu dalam pembahasan tingkat I di Komisi XI DPR bersama pemerintah sebanyak delapan fraksi setuju RUU HPP dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan.
Delapan fraksi yang setuju adalah PDI Perjuangan, Gerindra, Golkar, Nasdem, PKB, Partai Demokrat, PAN dan PPP. Sementara yang menolak adalah fraksi PKS.
Baca juga: Geleng-geleng Lihat PDIP Kritik PPN 12 Persen, Gerindra: Mereka Ketua Panjanya
Dolfie juga memaparkan delapan pandangan fraksi terkait UU HPP, berikut delapan pandangan fraksi:
1. Fraksi PDI Perjuangan: memperhatikan aspirasi dan nasib kelompok menengah ke bawah dan pelaku UMKM dengan tetap berkomitmen bahwa barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan masyarakat banyak, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa transportasi darat, jasa keuangan dan jasa pelayanan sosial dibebaskan dari pengenaan PPN.
2. Fraksi Partai Golkar: menerima sejumlah penyempurnaan mulai dari sistematika penomoran hingga perubahan redaksional dan penambahan pasal-pasal baru tentang pendelegasian kewenangan sejumlah ketentuan peraturan perundang yang mensyaratkan persetujuan DPR RI juga sangat berguna untuk menetralisir sejumlah spekulasi dan kekhawatiran dunia usaha yang berpengaruh pada iklim bisnis dan investasi nasional.
3. Fraksi Partai Gerindra: program pengungkapan sukarela wajib pajak akan memfasilitasi para wajib pajak yang memiliki itikad baik untuk patuh dan terintegrasi dalam sistem perpajakan diharapkan program ini dapat meningkatkan kepatuhan sukarela berbasis mutual trust dan berdampak signifikan pada peningkatan penerimaan perpajakan yang berkelanjutan.
4. Fraksi Partai Nasdem: sangat penting aturan mengenai asistensi penagihan pajak global yang bersifat timbal balik pengaturan tentang puasa wajib pajak, pembatalan usul kewenangan penangkapan, penahanan, modernisasi peraturan pengadilan secara in absentia dan program pengungkapan sukarela wajib pajak untuk mendorong kepatuhan pajak.
Baca juga: Kimberly Pernah Dilarang Edward Akbar Pakai Kontrasepsi, Tak Punya Kendali Penuh Atas Tubuhnya
5. Fraksi PKB: pendukung penerapan pajak karbon sebagai salah satu instrumen dalam mengurangi dan mengendalikan emisi karbon diharapkan kedepannya mengenai pajak karbon dapat mengubah perilaku masyarakat guna mengurangi emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan oleh perusahaan dalam melakukan proses produksinya.
6. Fraksi Partai Demokrat: meminta pemerintah agar melakukan sosialisasi kepada masyarakat atau wajib pajak perlu adanya edukasi terkait tentang manfaat pajak akan pentingnya membayar pajak hingga dapat timbul kesadaran dan kepatuhan untuk membayar pajak.
7. Fraksi PKS: menolak pembahasan tentang RUU harmonisasi peraturan perpajakan dan menyerahkan pengambilan keputusan selanjutnya dalam rapat paripurna DPR RI. Fraksi PKS menyampaikan pertimbangan penolakannya sebagai berikut. Pertama, Fraksi PKS tidak sepakat dengan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen. Fraksi PKS berpendapat bahwa kenaikan tarif PPN akan kontraproduktif dengan proses pemulihan ekonomi nasional. Fraksi PKS juga menolak barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan dan dikonsumsi oleh rakyat, dasar kesehatan medis, dasar pendidikan, jasa pelayanan sosial dan jasa layanan keagamaan menjadi barang/jasa kena pajak walau saat ini tarif PPN-nya masih 0% namun dengan menjadi BJKP, barang dan jasa tersebut suatu saat bisa dikenakan pajak. Fraksi PKS menolak pasal-pasal terkait dengan pengungkapan sukarela harta wajib pajak sebagaimana yang dipahami para ahli dan publik sebagai program tax amnesty jilid II. Pada tahun 2016, Fraksi PKS secara resmi menolak Undang-Undang Pengampunan Pajak.
Baca juga: Rapor Minor Timnas Indonesia di Piala AFF 2024: Tak Ada Gol dari Skema Open Play, Lini Depan Mandul
8. Fraksi Partai Amanat Nasional menyatakan bahwa mengapresiasi dengan disetujuinya pengecualian penerapan pajak terhadap beberapa isu seperti pendidikan, kesehatan, sosial dan isu publik lainnya terkait jasa pendidikan hal ini sangat penting terutama agar sekolah dan lembaga pendidikan, khususnya yang berada di daerah tertinggal, terluar dan terdepan, dapat menjadi lebih berdaya dan berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
9. Fraksi PPP menyatakan bahwa upaya pemerintah untuk melakukan reformasi perpajakan yang komprehensif namun harus dilakukan secara hati-hati dan proporsional agar tidak menjadi kontraproduktif terhadap upaya pemulihan ekonomi.
Baca juga: Kronologi Kasus Melody Sharon, Istri Seret Suami Pakai Mobil di Jakarta Timur
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.