Zulkifli Hasan Gembira MK Hapus Presidential Threshold: Perkembangan Demokrasi Kita
Zulkifli Hasan bergembira terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas presiden atau presidential threshold sebesar 20 %.
Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Endra Kurniawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan atau Zulhas mengaku bergembira terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen.
Menurutnya, putusan tersebut merupakan bagian dari perkembangan demokrasi bangsa. Dia bilang, keputusan MK bersifat final dan mengikat.
"Tentu kabar gembira bagi perkembangan demokrasi kita, putusan bersifat final dan mengikat," ujar Zulhas saat dikonfirmasi, Kamis (2/1/2025).
PAN, kata Zulhas, menghormati putusan MK tersebut yang sudah sering digugat sejumlah kelompok masyarakat.
"PAN menghormati dan menerima putusan MK yang sudah berkali-kali digugat oleh masyarakat," tukasnya.
Baca juga: Sambut Putusan MK, Partai Buruh Pede Usung Figur Capres-Cawapres di Pilpres 2029
Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden, yang sebelumnya diatur parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya.
Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).
MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Baca juga: Kata 7 Partai Politik soal MK Hapus Presidential Threshold, Demokrat: Sudah Semestinya Dihapus
Selain itu MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.
Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.