Ingatkan Soal ‘Peringatan Darurat’, Pakar Kepemiluan Wanti-wanti DPR Jangan Coba Distorsi Putusan MK
Titi mengatakan putusan MK harus dijadikan pedoman bagi pembentuk undang - undang, baik presiden maupun DPR.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar kepemiluan dan dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini berharap pembahasan revisi UU Pemilu di DPR tidak mendistorsi atau memutarbalikkan fakta putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perkara nomor 62 Tahun 2024 terkait penghapusan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold.
“Kami berharap DPR tidak mendistorsi putusan nomor 62 Tahun 2024 ini,” kata Titi kepada wartawan, Jumat (3/1/2025).
Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini mengatakan putusan MK harus dijadikan pedoman bagi pembentuk undang-undang, baik presiden maupun DPR.
Apalagi DPR sebelumnya juga sudah memasukkan revisi UU Pemilu dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2025.
Jika DPR punya niat mendistorsi putusan MK, Titi mengingatkan perlawanan masyarakat terhadap pemerintah dan DPR yang ditandai peristiwa ‘Peringatan Darurat’ yang masif disampaikan publik atas upaya parlemen mengakali putusan MK terkait batas usia pencalonan di Pilkada.
“Kita harus belajar dari peringatan darurat ketika parlemen mencoba membonsai putusan MK, perlawanan masyarakat luar biasa,” katanya.
Sebagaimana diketahui Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus syarat ambang batas pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (PT).
Dalam aturan sebelumnya, hanya parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya yang bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden.
Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).
MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.
Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.
MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan pilpres itu punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan.
Mahkamah juga menilai pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan paslon.
Selain itu setelah mempelajari seksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, MK membaca kecenderungan adanya upaya agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 paslon.
Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu secara langsung, dengan hanya 2 paslon masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang jika tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.
Bahkan jika pengaturan ini dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden ikut terjebak dengan calon tunggal.
Kecenderungan calon tunggal juga telah dilihat MK dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bertendensi ke arah munculnya kotak kosong. Artinya mempertahankan ambang batas presiden, berpotensi menghalangi pelaksanaan pilpres secara langsung oleh rakyat untuk menyediakan banyak pilihan paslon.
“Jika itu terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.