Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pengamat Nilai Pemerintah Harus Benahi Aturan Antara Social Commerce dan E-commerce

Peneliti Ekonomi Digital Indef Nailul Huda mengatakan, social commerce pada dasarnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dilarang sepenuhnya.

Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Pengamat Nilai Pemerintah Harus Benahi Aturan Antara Social Commerce dan E-commerce
INDEF
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polemik keberadaan social commerce seperti TikTok Shop tengah diperbincangkan oleh berbagai kalangan, lantaran disebut-sebut mengancam keberadaan UMKM, khususnya untuk produk-produk lokal.

Sejumlah pihak yang mengutarakan kontroversi ini mulai dari kalangan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hingga Kementerian Perdagangan.

Adanya perihal tersebut, Peneliti Ekonomi Digital Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, social commerce pada dasarnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dilarang sepenuhnya.

Baca juga: Budi Waseso Geram, Beras SPHP Kemasan 5 Kg Dijual di Shopee, E-Commerce Diminta Takedown

Karena sejatinya interaksi di sosial media tidak dapat diatur apakah mau jual beli atau interaksi lainnya.

Maka dari itu, yang seharusnya dilakukan adalah pengaturan untuk social commerce yang disamakan dengan e-commerce, karena prinsipnya sama-sama jualan menggunakan internet.

"Pengenaan pajak dan sebagainya menjadi krusial diterapkan di social commerce," ungkap Nailul Huda kepada Tribunnews, Senin (11/9/2023).

Berita Rekomendasi

"Sebelumnya, pada tahun 2019 saya sudah sampaikan bahwa social commerce ini akan lebih sulit diatur karena sifatnya yang tidak mengikat ke perusahaan aplikasi. Akan banyak loophole di situ," sambungnya.

Terkait dengan merugikan UMKM lokal, Huda justru melihatnya dari sisi impor. Diketahui, barang impor di pasar online terdapat dua jenis.

Pertama adalah barang impor yang penjualnya juga berasal di luar negeri, jadi shippingnya dari Luar Negeri. Barang yang ini biasa disebut cross border commerce.

Dengan kebijakan pelarangan impor maksimal 100 dolar AS, pasti akan efektif karena benar-benar dilarang.

Baca juga: Menkop Teten Keberatan TikTok Operasikan E-Commerce dan Media Sosial Secara Bersamaan, Ini Kata idEA

Kedua adalah barang impor yang dijual oleh seller lokal, namun shippingnya dari domestik. Berdasarkan catatan Huda, ini porsinya besar sekali dan tidak bisa dibatasi oleh kebijakan larangan impor maksimal 100 dolar AS.

"Kebijakan pelarangan impor bagi produk di bawah harga 100 dolar AS memang akan efektif untuk membendung impor, tapi untuk sistem yang cross border commerce. Pasti akan menurunkan impornya," papar Huda.

"Tapi ya itu, untuk impor cross border commerce. Kalo untuk yang barangnya sudah di Indonesia, tentu gak akan berpengaruh sih kebijakan ini. Maka sejatinya kalo memang mau impor bisa melalui mekanisme impor seperti biasa bukan melalui ecommerce. Agar ada nilai tambah ke perdagangan kita," pungkasnya.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Terkait

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas