Nasib TikTok Shop di Tangan Revisi Permendag 50/2020
Dalam revisi Permendag 50/2020, salah satu yang akan diatur adalah social commerce, yang mana TikTok Shop termasuk di dalam kategori social commerce.
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Hendra Gunawan
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nasib TikTok Shop akan ditentukan oleh revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020.
Saat ini, revisi Permendag 50/2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PPMSE) masih diharmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.
Dalam revisi Permendag 50/2020, salah satu yang akan diatur adalah social commerce, yang mana TikTok Shop termasuk di dalam kategori social commerce.
Baca juga: Pemerintah Diminta Tegas Menyikapi TikTok yang Ogah Pisahkan Bisnis Media Sosial dan E-Commerce
Pemerintah sendiri belakangan ini menolak adanya penggabungan media sosial dan e-commerce atau bisa juga disebut social commerce.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan agar menantikan revisi Permendag 50/2020 untuk melihat nasib dari social commerce.
"Nanti kita lihat hasil (revisi) Permendag itu saja," katanya ketika ditemui di kantor KemenKopUKM, Kamis (14/9/2023).
Menurut dia, apabila nanti social commerce dilarang, para platform digital ini bisa membuat entitas baru.
"Nanti kan (social commerce, red) juga bisa bikin entitas baru, bisnis baru," ujar Teten.
Selain revisi Permendag 50/2020, regulasi untuk ekonomi digital juga akan dibahas khusus oleh satgas pemerintah yang berisikan lintas kementerian.
Tak hanya ekonomi digital, satgas ini juga akan membahas mengenai digital goverment.
"Nah digital ekonomi itu (isinya) saya (KemenKopUKM), Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perindustrian, BKPM, dan Kementerian Perdagangan," kata Teten.
Baca juga: Anak Buah Jokowi Tak Satu Suara Soal TikTok Shop, Manajemen Sebut Pemerintah Hambat Inovasi
Ia mengatakan, dalam hal ekonomi digital, pemerintah akan mempelajari mengapa dengan potensi ekonomi digital yang besar milik RI, masih dikuasai oleh pihak asing.
"Kita sudah lihat di sektor keuangan, kita menguasai 96 persen. Berarti di sini kita sudah mengaturnya dengan benar. BI dan Kemenkeu sudah mengaturnya dengan benar. Tapi di e-commerce kenapa 56 persen dikuasai asing?" Ujar Teten.
"Nah berarti kita harus lihat kenapa apa saja masalahnya. Apakah memang di kebijakan investasi? Di kebijakan perdagangan? Termasuk juga tadi apakah transformasi digitalnya tuh lebih di hilir atau di hulu," lanjutnya.