Peneliti UGM: Regulasi Pemerintah Abu-abu, Social Commerce Tidak Seaman E-Commerce
Regulasi social commerce perlu dipertegas terutama terkait keamanan saat bertransaksi.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyoroti regulasi pemerintah masih 'abu-abu' untuk social commerce, seperti TikTok Shop. Hal tersebut menyebabkan adanya celah keamanan siber saat pengguna bertransaksi.
Research Coordinator CfDS UGM Muhammad Perdana Sasmita-Jati Karim menerangkan, regulasi social commerce perlu dipertegas terutama terkait keamanan saat bertransaksi. Ia mencontohkan, regulasi untuk TikTok Shop masih belum tegas.
Ketidaktegasan itu membuat celah keamanan siber pengguna ketika bertransaksi di social commerce, dan tidak seaman ketika pengguna bertransaksi di e-commerce.
Karim menyinggung regulasi dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Baca juga: Hippindo Tak Khawatir dengan Persaingan Penjualan di Sosial Commerce
Nyatanya aturan tersebut masih terindikasi dilanggar TikTok Shop. Ia melihat pentingnya pemerintah membuat regulasi yang tegas dan komprehensif mengenai social commerce demi menjamin keamanan dalam bertransaksi. Aturan yang ada masih dianggap belum mewadahi hal tersebut.
"Konsep social commerce di Indonesia ini masih sangat kurang terkait regulasi. Baik ke arah pelaku UMKM maupun ke arah konsumen," ujar Karim saat dihubungi Kamis (11/1/2024).
Karim melihat regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah, masih berada di wilayah 'abu-abu', sehingga social commerce memiliki risiko keamanan yang lebih tinggi daripada e-commerce. Ia menjelaskan, dalam praktik di social commerce, hubungan antara pembeli dan penjual dilakukan tanpa ada platform sebagai buffer.
"Mekanisme TikTok Shop atau TikTok Live hanya berperan sebagai medium untuk mempromosikan atau mengiklankan produk dari penjual kepada konsumen," terang Karim.
Karim melihat perbedaan ketika pengguna bertransaksi di e-commerce. Sebab, di e-commerce mekanisme perlindungan bagi penjual atau konsumen dinilai lebih terjamin lantaran memiliki sistem keamanan yang lebih canggih.
"Akan tetapi mekanisme jual belinya sendiri pun tidak seaman dan nyaman platform e-commerce yang memang tujuannya adalah untuk jual-beli produk, sehingga mekanisme pelindungan penjual atau konsumen lebih dipikirkan oleh mereka," kata Karim.
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki menyatakan TikTok Shop masih terindikasi melanggar peraturan setelah kembali beroperasi.
E-commerce, menurut Teten, bagian dari aplikasi TikTok itu terindikasi melanggar Permendag Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
"TikTok sudah mengambil alih Tokopedia dengan investasi. Pertanyaannya adalah apakah sudah dipenuhi Permendag 31 itu. Ini yang sedang kita bahas," imbuh Teten saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (21/12/2024).
Sebab, TikTok Shop transaksinya masih berada di platform itu sendiri. Sedangkan, dalam Permendag 31/2023, media sosial dan e-commerce tidak boleh digabung.
"Kami melihat belum ada perubahan. Jadi ini ada indikasi pelanggaran terhadap Permendag 31," imbuh Teten.